Oleh: Prof Didik J Rachbini, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
ARAHNEWS.COM ‐ Sebanyak 90 % dari ekonomi adalah politik, demikian pula sebaliknya, 90 % dari politik adalah ekonomi.
Konflik-konflik di Timur Tengah tentang minyak itu sebetulnya adalah konflik politik.
Di bawah ini adalah 5 artikel yang disarikan dari Diskusi Publik Awal Tahun 2023 INDEF “Catatan Awal Tahun 2023 dari Ekonom Senior INDEF”, sebagai berikut:
1. Demokrasi Politik di Era Reformasi Berjalan Sayangnya Oligarki Ekonomi Mengendalikan Politik – Prof Dr Didin S Damanhuri
2. Utang Belasan Ribu Triliun Rupiah Diwariskan Kepada Pemimpin Indonesia yang akan Datang – Prof Dr Didik J Rachbini
3. Ekspor Meningkat Lebih Cepat dari Impor, Masalahnya Mengapa Rupiah Tetap Melemah? – Dr Faisal H Basri
4. IMF Ramalkan 2023 Sepertiga Negara di Dunia akan Alami Resesi Ekonomi – Dr. M. Fadhil Hasan
5. Ancaman Krisis Pangan di Dalam Negeri pada 2023 Jauh Lebih Besar, Apalagi Jika Produktivitas Rendah – Dr M. Nawir Messi
Demikian pula dengan kebijakan APBN, kuota dan lainnya adalah juga ranah politik.
Masalahnya, saat ini terjadi politik Asimetris yang ditandai dengan demokrasi semakin mundur dengan indeks yang terus mengkhawatirkan.
Asimetris dimana penguasa, politisi menentukan segala keputusan atas sumberdaya ekonomi dan politik untuk kepentingan terbatas. Akses rakyat terhadap sumberdaya kecil.
Para akademisi meneliti kondisi tersebut dan menyimpulkan bahwa rezim yang dibangun dengan demokratis saat ini justru yang merusak demokrasi itu sendiri.
Politik asimetris terjadi dengan gerak oligarki yang menjadi pemutus semua persoalan dengan tanpa adanya kritik dan kontrol oleh parlemen yang menjadi parlemen paling lemah.
Survei-survei politik memperlihatkan ketakutan rakyat terhadap regim, aparat.
Survei tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi situasi ketakutan publik untuk bicara politik.
60% responden menyatakan takut bicara politik. Mereka merasa takut kepada aparat yang kejam dan semena-mena.
Publik juga takut untuk ikut dalam organisasi dan menjadi takut juga dalam menjalankan ibadah agamanya.
Sayangnya, terjadi pembiaran terhadap langkah semena-mena tersebut oleh ororitas politik dan kekuasaan.
Implikasi kepada ekonomi politik menjadi amat berat. Iklim politik luarbiasa merusak demokrasi.
Check and balance tidak terjadi dan transisi politik menjadi amat tidak mudah.
Selain mahal di ongkos politik dan ongkos perkelahian dalam peralihan kepemimpinan yang penuh risiko-risiko politik dan sosial.
Namun situasi rusak tersebut justru diambil keuntungan oleh intelektual rongsokan yang menjadi penyokong kekuasaan. Oposisi nihil dan tidak berjalannya fungsi kontrol parlemen.
Pada masa SBY pertumbuhan ekonomi bisa mencapai hampir 6%, dan sebelum krisis mencapai 7%.
Periode Jokowi, dijanjikan pertumbuhan ekonomi mencapai 7% tetapi yang terwujud 5 persen.
APBN, terjadi rencana APBN yang semena-mena ketika terjadi covid 19 pada awal 2020.
Defisit APBN di bawah 3 % dan utang direncanakan hanya sekitar Rp640 triliun.
Tetapi karena otoriter, maka ketika pemerintah memutuskan apa saja, DPR RI manut saja dan tidak memberikan reaksi apa-apa.
Sisi keseimbangan primer APBN, yakni penerimaan dikurangi pengeluaran minus utang baik unsur pembayaran utang atau penerimaan utang dikeluarkan.
Maka ada defisit primer negatif, yang artinya pendapatan negara tidak cukup untuk membiayai keperluan-keperluan negara.
Terjadi ketidakmampuan untuk membiayai keperluan dan utang yang bertimbun.
Hal itu menambah tingginya ketidakseimbangan primer dan kewajiban membayar utang yang sangat tinggi.
Pada awal covid 19 itulah terjadinya justifikasi krisis dengan kebijakan otoriter dilakukan. Parlemen tidak bisa apa-apa.
Dari Rp604triliun rencana utang, dengan alasan covid 19 lalu ditetapkan menjadi Rp1500 triliun dengan realisasi menjadi Rp1600 triliun utang. Sehingga kemudian terjadi defisit cukup besar.
Beruntung pada 2022 mendapat durian runtuh dengan kenaikan harga komoditas sawit dan barubara dunia, sehingga defisit berkurang dari Rp 860 triliun menjadi Rp460triliun.
Tetapi perencanaan yang lemah mengakibatkan munculnya selisih Rp400 triliun dan utang belanja menjadi perencanaan yang serampangan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Kalau selisih hanya Rp3 – 4 triliun itu masuk akal, tetapi jika sudah demikian besar maka menjadi permasalah serius di bidang perencanaan anggaran.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Bank Indonesia menjadi tidak lagi independen karena diwajibkan membeli SBN.
Ketika SBY berutang Rp2600 triliun dikecam habis-habisan plus oleh para relawan yang semestinya tidak lagi dipelihara.
Kini, utang menjadi Rp7500 triliun plus utang BUMN sehigga total utang menjadi belasan ribu triliun utang yang diwariskan kepada pemimpin yang akan datang.
APBN ke depan akan terpengaruh buruk karena habis untuk membayar utang dan bunga utang.
* Artikel disarikan dari Diskusi Publik Awal Tahun 2023 INDEF “Catatan Awal Tahun 2023 dari Ekonom Senior INDEF” Kamis, 5 Januari 2023.
** Diskusi publik menghadirkan para pembicara: Prof Dr Didin S Damanhuri, Prof Dr Didik J Rachbini, Dr. M.Fadhil Hasan, Dr Faisal H Basri, dan Dr M. Nawir Messi.***