ARAH NEWS – Di samping radikalisme, intoleransi dan moderasi beragama, maka politik identitas adalah isu politik rezim Jokowi.
Lagi-lagi tidak jelas makna dan landasan hukumnya. Yang jelas arahnya selalu ditujukan kepada umat Islam.
Semangat keagamaan yang dinilai sempit atau primordial. Jika dinilai seperti ini maka terjadi kekeliruan dalam politik keagamaan.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Direktur Utama BUMN yang Tak Berprestasi dan Malas-malasan, Presiden Prabowo Subianto: Ganti!
Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik, Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan oleh Press Release
SCROLL TO RESUME CONTENT
Umat Islam dengan keyakinan keislaman adalah kemutlakan bukan penyimpangan.
Yang penting dengan identitas “particulary” nya ia mengakui dan menoleransi ada perbedaan pada kelompok atau komunitas lainnya.
Perbedaan agama, ras, atau kultur ber-koeksistensi secara damai. Keberagaman adalah realita yang diterima sejak negara Indonesia didirikan.
Baca Juga:
Kepala BGN Kunjungi Siswa Cianjur yang Alami Gangguan Kesehatan Usai Konsumsi Makanan Program MBG
Bhineka Tunggal Ika merupakan wujud dari pemahaman ini. Umat Islam tentu sudah sangat faham.
Kini masalah identitas dipersoalkan dengan alasan anti kebhinekaan dan kebangsaan. Semburan fitnah yang mengancam.
Politik identitas seharus dipandang sebagai kekuatan integratif dan kontributif dari pengelompokan anak bangsa.
Justru sebaliknya dengan penyeragaman maka yang terjadi adalah pemaksaan dan otoritarian.
Baca Juga:
Presiden Prbowo Subianto Pidato Penuh Semangat di Parlemen Turki, Suarakan Dukungan ke Palestina
Sektor Energi dan Keuangan Dinilai Prospektif dalam Laporan CSA Index April 2025
Ketika Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bersepakat dengan Partai Golkar untuk tidak menggunakan politik identitas pada Pemilu 2024, maka itu adalah hak.
Namun jika menuduh pihak lain dan memojokkan politik identitas jelas tidak benar. Apalagi PSI yang nyinyir dengan membahasakan politisasi agama.
Padahal selama ini terjadi juga politisasi kebangsaan, profanitas, kapital, gotong royong, bahkan adat istiadat.
Pemakaian baju adat pada acara resmi kenegaraan oleh Presiden yang tidak “nempat” adalah bentuk politisasi. Politik identitas juga.
Nah, janganlah teriak anti politik identitas yang sebenarnya sedang menutupi perjuangan identitas dirinya.
Adakah sembunyi pada budaya itu untuk menyerang kekuatan agama atau lainnya?
Negara ini dimerdekakan dan dibangun atas perjuangan bersama termasuk oleh kekuatan agama. Kontribusi umat Islam sangat besar untuk negara ini sejak dulu kala.
Baca sejarah perang kemerdekaan, perumusan Pancasila hingga penjagaan konstitusi dan ideologi negara dalam dimensi sejarahnya. Identitas bukan hal yang buruk.
Rezim Jokowi nampaknya sibuk dengan program “labeling” memberi predikat radikal, intoleran dan politik identitas pada umat Islam. Walaupun dengan bahasa samar khas kaum ambivalen.
Sebenarnya perjuangan agar Pancasila dapat sesuai rumusan tanggal 1 Juni 1945 dapat pula disebut menutupi politik identitas. Destruktif bahkan dapat disetarakan dengan makar.
Sudahlah hentikan politik semburan fitnah dengan pola “labeling”. Ini cara tidak sehat untuk membangun integrasi bangsa.
Sebaliknya, membuka peluang bagi penumpang gelap ala influencer dan buzzer untuk memperkaya diri via isu. Proyek keonaran dengan memancing konflik berbasis perbedaan.
Politik identitas adalah keniscayaan di Indonesia dan tugas kita bersama adalah mengoptimalkan aspek positif dengan mengurangi dampak negatifnya.
Dengan mengangkat dan menyudutkan umat Islam sebagai komunitas yang dianggap selalu menampilkan politik identitas maka itu adalah fitnah yang tidak perlu bahkan berbahaya.
Stop isu politik identitas, ganti dengan politik integritas dan moralitas.
Opini: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.***
Buat yang hobby berbagi tulisan artikel atau opini (pendapat, pandangan dan tanggapan) ayo menulis, artikel dapat dikirim lewat WhatsApp ke: 0855-7777888.