ARAH NEWS – Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa inflasi bisa mencapai 6 % akibat kenaikan harga BBM. Wah tinggi sekali ya?
Ngukurnya bagaimana? Kapan ngukurnya? BI kok jadi komentator, mengambil alih tugas pengamat? Gak salah?
Kalau Badan Pusat Statustik (BPS) wajar bicara sebagai pengamat, karena BPS itu lembaga survey.
Begitu data dihasilkan oleh survey mereka, BPS umumkan inflasi sekian, penyebabnya ini, itu, dan seterusnya.
Baca Juga:
Analis Memperkirakan Rupiah Melemah di Tengah Kekhawatiran Kebijakan Tarif Trump
Fitur AI Canggih di ASUS ZenBook S 14 OLED (UX5406) Copilot+ PC yang Wajib Anda Ketahui
Bahas Kerja Sama Ekonomi Indonesia – Tiongkok, Airlangga Hartarto Terima Kunjungan Dubes Wang Lutong
Tapi BI tidak pantas melakukan itu, memprovokasi inflasi. Sementara BI adalah pembuat kebijakan, dapat melakukan segala langkah bagi pengendalian inflasi.
Dengan menggunakan instrumen moneter yang di bawah kekuasaan BI.
Apakah BI mau cuci tangan? Publik tau bahwa ketidakmampaun BI dalam pengendalian moneter, mengendalikan devisa, merupakan penyebab meningkatnya biaya produksi BBM dan listrik di Indoensia.
BI mungkin buta, tidak dapat melihat fakta bahwa faktor utama yang menyebabkan mahalnya biaya produksi energi Indonesia terutama BBM dan listrik adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap USD.
Baca Juga:
Di Tempat Pembuangan Sampah Kawasn Pancoran, Jaksel Ditemukan Sesosok Jasad Bayi Perempuan
Sapulangit Media Center Gandeng Rilispers.com Pasarkan Publikasi Press Release di 150+ Portal Berita
Mengapa? Karena membeli bahan baku minyak mentah dan Batubara maupun energi primer lainya semua menggunakan mata uang dolar.
Bahkan energi primer yang dihasilkan di dalam negeri dibeli oleh Pertamina dan PLN dengan dolar Amerika.
Mengapa demikian? Mengapa bisa terjadi? Bukankah ini adalah pelanggaran serius terhadap UUD dan UU tentang mata uang?
Faktor kedua yang menyebabkan mahalnya biaya produksi energi di dalam negeri adalah suku bunga.
Baca Juga:
Kebutuhan Cadangan Beras Pemerintah, Indonesia akan Tambah Kuota Impor Beras Sebanyak 1 Juta Ton
Baik Pertamina maupun PLN meminjam uang bank dalam jumlah besar untuk menjalankan tugas sebagai operator minyak, gas dan listrik.
Bunga utang mereka adalah salah satu komponen paling mencekik dalam kegiatan usaha di bidang energi.
Faktor ketiga adalah inflasi. Kenaikan harga harga akan memicu naiknya biaya produksi energi.
Dalam memproduksi energi tidak bisa dilepaskan dari inflasi, kenaikan harga barang secara umum akan mengakibatkan naiknya biaya produksi untuk menghasilkan energi.
Inflasi kata presiden Jokowi adalah mahluk yang paling menakutkan. Ngono ya?
Semua itu, menjaga nilai tukar, menetapkan suku bunga acuan, pengendalian inflasi? Itu tugas siapa? Itu adalah tugas Bank Indonesia menurut UU BI.
Tugas yang mereka tidak jalankan dengan benar, mungkin karena mereka tidak tau caranya, mungkin juga karena mereka menjalankan misi tertentu.
Sehingga nilai tukar harus merosot, suku bunga tinggi, inflasi tidak dikendalikan.
Sekarang BI melakukan langkah keliru, menaikkan suku bunga acuan, bukan dalam rangka mengendalikan inflasi.
Tapi mendorong agar rentenir internasional mau membeli obligasi BI agar BI bisa membeli SBN di pasar perdana.
Ini adalah pelanggaran sistem moneter internasional yang sangat kotor untuk menyelamatkan APBN yang jebol akibat utang.
Kebijakan ini telah disemprit oleh IMF karena dinilai membahayakan. Kebijakan inilah yang membuat Indonesia tidak lagi dipercaya dan membuat rupiah nyungsep!
Opini: Salamuddin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).***
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Arahnews.com, semoga bermanfaat.