ARAHNEWS.COM – Aremania, klub suporter Arema FC, telah mensomasi Presiden Jokowi, Kapolri, Ketum PSSI, Panglima TNI, Menpora, DPR RI, serta PT LIB (Liga Indonesia Baru).
Termasuk Direktur LIB dan panpel kompetisi sepakbola di Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur beberapa waktu lalu paska tragedi Kanjuruhan.
Seminggu lalu, 1/10, kita telah mengenang tragedi besar berdarah berupa korban nyawa dalam sejarah persepakbolaan kita, sebuah pembantaian brutal terhadap supporter sepakbola.
Catatan kematian terakhir adalah 131 jiwa, di antaranya puluhan anak-anak dan wanita. Dari sembilan somasi Aremania, kita akan membahas poin pertama.
Baca Juga:
Genjot Ekspor Komoditi Pertanian Nasional ke Jepang, Wamentan Sudaryono Gandeng BI di Tokyo
Yakni permintaan maaf dari Presiden, Ketua Umum PSSI, Kapolri, Panglima TNI, dan lainnya.
Poin permintaan maaf adalah poin budaya, bukan soal apakah pihak yang dituju terkait langsung, melainkan sebuah pertanggungjawaban moral.
Khususnya ketika kejadian ini adalah persoalan nasional dan bahkan internasional, jadi kita bukan hanya sekedar mencari kambing hitam.
Permintaan maaf terutama ditujukan pada Ketua PSSI. Sebab, netizen dan masyarakat meyakini PSSI lah simbolik dari identitas persepakbolaan kita.
Baca Juga:
CSA Index Oktober Tembus 76,09: Pelaku Pasar Optimis Pemerintahan Baru Akan Dorong Pertumbuhan IHSG
Permintaan maaf dari Iwan Bule (Mochammad Iriawan, ketua umum PSSI) sebenarnya sudah dia sampaikan pada Minggu 2/10 lalu.
Namun, kenapa masyarakat tetap tidak puas dan tetap masih meminta Iwan Bule meminta maaf? Bahkan suara itu terus menggema di media sosial.
Untuk Iwan Bule ini, sebenarnya permintaan maaf yang diinginkan masyarakat, khususnya netizen, bukan sekedar minta maaf saja.
Melainkan meminta maaf yang disertai rasa bersalah, malu dan lantas mengundurkan diri dari ketua umum PSSI.
Baca Juga:
Minergi Media Luncurkan Portal Tambangpost.com Dukung Hilirisasi Tambang dan Ketahanan Energi
Rencana Pertemuan Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto Ditanggapi Presiden Jokowi
Sebab, di Indonesia, permintaan maaf seringkali hanya merupakan “lip service”, tanpa makna.
Dalam berbagai media, disebutkan Iwan Bule tidak terima dengan permintaan netizen agar dia mengundurkan diri, bahkan katanya dia harus terus menjabat sebagai bentuk tanggung jawab.
Dengan demikian, menurutnya, dia justru harus mengaudit kenapa kerusuhan itu terjadi.
Dan dia juga merasa tidak terlibat dalam tataran teknis pelaksanaan pertandingan, khususnya urusan pengamanan, antara Arema FC dan Persebaya itu.
Sesungguhnya, permintaan mundur pada Iwan Bule bukan saja dari netizan, yang dalam petisi change.org saja sudah mencapai 32.000 orang, melainkan banyak pihak.
Baik ketua Bonek (supporter Surabaya), Barnis (Relawan Anies), pengurus PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), dan tokoh-tokoh persepakbolaan.
Sebenarnya, bagaimana mengukur kejadian Kanjuruhan tersebut dengan sebuah pernyataan maaf yang serius? Apakah permintaan supporter Arema FC terlalu mengada-ada?
Untuk itu kita harus melihat bagaimana standar moral elit kita dalam sebuah insiden yang bersifat menggegerkan atau dengan magnitute yang sangat besar.
Kita mulai dari membandingkan dengan Korea Selatan. Mengapa Korea, karena bangsa ini masuk dalam rumpun “Shame Culture”, bukan “Guilt Culture”, seperti Jepang, Ras China, dan juga Indonesia.
Dalam “The Shame Culture “, David Broke, The New York Times, 15/3/2016, mengatakan bahwa seseorang sangat takut mengalami ” Social exclusion”, apalagi di era media sosial saat ini
Pada medio April 2014, sebuah kapal Ferry yang mengangkut ratusan pelajar tenggelam di Korea. Sebanyak 187 orang meninggal.
Sebelas hari kemudian Perdana Menteri Korea menyatakan mundur dari pemerintahan.
Dalam pernyataannya yang dimuat BBC, 27/4/14, katanya, “cries of the families of those missing still keep me up at night” (Tangisan keluarga dari orang-orang yang meninggal menghantui saya setiap malam.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
The Guardian, 27/4/14 memberitakan bahwa mundurnya Chung Hong Won itu sebagai simbol maaf dari pemerintah Korea. Di Korea, Chung adalah orang kedua setelah Presiden.
Meskipun urusan tenggelamnya The Sewol Ferry secara teknis adalah tanggung jawab kapten kapal, terutama crew dan pejabat terkait lalulintas kapal.
Namun rasa malu, rasa bersedih, dan penghormatan terhadap keluarga yang berduka telah diambil tanggung jawabnya oleh kepala pemerintahan. Itulah “Shame Culture”.
Di Indonesia pepatah Jawa “Wedi Wirang, Wani Mati” merupakan ajaran yang sama dengan di Korea Selatan di atas. Artinya takut menanggung malu, lebih baik mati.
Memang tidak seperti di Korea maupun Jepang yang sudah sangat terkenal dalam budaya ini, tapi sebagai umpama, ada juga di Indonesia, misalnya, eks Dirjen Perhubungan Darat, Kemenhub, Djoko Sasono.
Alumni ITB itu menyatakan diri bersalah dan mengundurkan diri akhir tahun 2015, karena terjadi kemacetan di mana-mana pada akhir tahun 2015.
Dia tidak ingin menyalahkan anak buahnya, apalagi pelaksana jalan tol. Alumni ITB lainnya, Sigit Pramudito, juga mengundurkan diri pada waktu yang hampir bersamaan dengan Djoko itu.
Juga, Sigit adalah eks dirjen pajak, dirjen yang jabatannya paling bergengsi di Indonesia. Sigit pun mengaku malu dan menyatakan mundur karena target penerimaan pajak tidak tercapai. Dia tidak ingin menyalahkan siapa pun.
Kedua alumni ITB itu, punya rasa malu, tentu sebuah anomali saat dikaitkan dengan sekarang ini.
Memang, mengharapkan elit-elit negara yang mempunyai budaya malu sangatlah susah saat ini. Apalagi dalam situasi mengejar jabatan merupakan tujuan elit-elit bangsa dengan segala cara dan kasak-kusuk.
Belum lagi sogok-menyogok dan bekerjasama dengan mafia atau oligarki dalam merebut jabatan-jabatan yang prestisius
Iwan Bule adalah contoh elite kita, dimana mengaku salah dan lalu mengundurkan diri sangatlah berat.
Padahal salah di sini maksudnya, sekali lagi, bukan dalam pengertian hukum saja, melainkan utamanya moral atau kultur. Ini adalah cerminan resmi elit bangsa kita saat ini. Kekurangan rasa malu.
Kepolisian sudah membuat 6 orang jadi tersangka. Termasuk direktur liga LIB. Pihak keamanan, polisi dan sekuriti pertandingan.
Tentu saja harus ada yang jadi tersangka, karena terjadi kekerasan dan kematian ketika mereka mengamankan wilayah itu.
Namun, penggunaan Gas Air Mata untuk pertandingan bola, merupakan kejahatan besar. Orang-orang yang menonton bola tidak mengerti tentang itu, berbeda dengan mahasiswa dan buruh yang berdemonstrasi anti pemerintah.
Kelompok mahasiswa ini biasanya menyiapkan diri dengan odol atau lainnya jika mereka memperkirakan ada gas air mata.
Odol itu di oles di sekitar wajah. Itu pun situasinya di daerah terbuka di mana mereka bisa melarikan diri.
Oleh karenanya, secara niat atau perencanaan awal, supporter atau penonton pertandingan sepakbola sudah diasumsikan sama dengan demonstran atau kelompok vandalis.
Inilah kerusakan moral dari penyelenggara dan pihak aparatur negara. Ini sudah menjadi kultur kekerasan polisi yang buruk selama ini.
Oleh karenanya, tidak heran berbagai LSM berdimensi hukum, seperti LBH, PBHI, dan lainnya menyerukan Reformasi Kepolisian. Isu reformasi kepolisian ini memperkuat gema isu ini paska Kasus Sambo.
Rakyat Indonesia tidak terima dengan polisi yang kulturnya penuh kekerasan dan kurang cinta pada rakyat. Di sini pula letak tuntutan maaf Aremania terhadap Kapolri.
Pemberian sanksi pidana terhadap kelompok pelaksana teknis sebenarnya seperti hanya mencari kambing hitam saja, jika melihat magnitude persoalan ini, dan pandangan dunia internasional yang menunggu solusi.
Presiden Jokowi boleh jadi memerintahkan TGIPF, yang diketuai Mahfud MD, bekerja untuk mencari fakta, namun sebaiknya sebelum sanksi pidana terjadi, refleksi moral harus secepatnya dilakukan.
Harus ada pernyataan maaf yang diikuti dengan rasa penuh tanggung jawab, yakni mundur dari jabatannya, apakah itu Iwan Bule atau Kapolri. Jika tidak, maka kekecewaan rakyat akan terus membara.
Kita melihat Aremania dan Aremanita terkesan mulai mengapresiasi pentersangkaan 6 pihak untuk permintaan maaf.
Namun secara keseluruhan masyarakat masih merindukan permohonan maaf pada level yang sangat tinggi dari penyelenggara persepakbolaan.
Yakni pimpinan PSSI ataupun pimpinan kepolisian. Ini penting sebagai simbolis moral dan rasa malu dalam skala yang diinginkan masyarakat kita dan dunia.
Somasi Aremania terhadap presiden, kapolri, ketum PSSI dan lainnya mempunyai landasan moral penting untuk kita dukung.
Tentu saja somasi ini mewakili perasaan masyarakat kita semua, karena telah terjadi pembantaian manusia dengan sadis di Kanjuruhan, yang dilakukan oleh aparat negara.
Bangsa ini perlu belajar budaya malu, maksudnya elite bangsa, khususnya yang berkuasa. Jangan membiarkan bangsa ini terbiasa mencari kambing hitam.
Dalam kacamata sosiologi, “shame culture” merupakan spirit bangsa asia, baik Korea, Jepang, China, dan juga harusnya Indonesia.
Budaya Jawa, “Wedi Wirang, Wani Mati” (Lebih baik mati daripada malu) sudah lama menghilang, meski mungkin tidak sepenuhnya.
Kita harus mendorong sifat-sifat bermoral dan bertanggung jawab pemimpin kita.
Jokowi harus minta maaf, Kapolri harus minta maaf dan Iwan Bule harus mundur.
Itu di luar urusan pidana, ini adalah soal moral dan budaya malu. Itu juga diluar jadwal kerja tim TGIPF yang dipimpin Mahfud MD.
Dengan demikian, kepedihan atas kematian ratusan korban Kanjuruhan bisa terobati, setidaknya sebagiannya.
Opini: Dr H Syahganda Nainggolan, Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle (SMC) dan Mantan Aktivis Mahasiswa ITB Era 80an.***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Arahnews.com, semoga bermanfaat.