ARAH NEWS – Salah satu indikator utama sehat tidaknya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah terpenuhinya target produksi minyak dan gas (Migas) nasional.
Jika target produksi migas tidak tercapai maka APBN Indonesia makin terpuruk.
Dampaknya stabilitas ekonomi Memburuk dan ketahanan nasional terancam.
Sejak kekuasaan dalam membuat regulasi, melakukan pengawasan hulu migas diserahkan pada Satuan Kerja Khusus Migas (SKK), Produksi minyak nasional sekarang mencapai titik terendah.
Baca Juga:
CSA Index Oktober Tembus 76,09: Pelaku Pasar Optimis Pemerintahan Baru Akan Dorong Pertumbuhan IHSG
Sekarang keadaan produksi migas tidak menunjukkan akan pulih karena tidak ada strategi untuk memulihkannya.
Meskipun SKK membuat target yang bombastis yakni satu juta barel produksi minyak sehari, namun faktanya dalam beberapa tahun terakhir produksi tak pernah naik hanya sekitar 600-700 ribu barel sehari.
Ada atau tidak ada SKK Migas, produksi tetap segitu gitu aja. Bahkan ada pandangan yang mengatakan bahwa keberadaan SKK migas justru menjadi biang kerok dari terpuruknya lifting migas nasional.
Regulasi yang tidak pasti, tumpang tindih peraturan dan kelembagaan migas yang kacau tidak dapat diatasi oleh SKK migas.
Baca Juga:
Minergi Media Luncurkan Portal Tambangpost.com Dukung Hilirisasi Tambang dan Ketahanan Energi
Rencana Pertemuan Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto Ditanggapi Presiden Jokowi
Investasi sektor migas menghadapi keadaan yang tidak nyaman di Indonesia.
Padahal sekarang Indonesia memiliki momentum untuk menikmati hasil migas.
Kenaikan harga minyak hingga menembus 115-120 dolar per barel dan gas mencapai 8 dolar per MMBTU merupakan kesempatan Indonesia mendapatkan uang besar satu hasil migas.
Namun karena produksi migas yang makin menurun mengakibatkan kesempatan itu hilang begitu saja.
Baca Juga:
Semua negara penghasil migas panen raya, sementara Indonesia gigit jari. Sumbangan sekor migas kepada APBN makin tidak significant.
Padahal penerimaan negara dari migas atau bagi hasil migas melalui skema cost recovery dan grossplit merupakan sumber anggaran negara dalam melakukan subsidi BBM.
Lebih jauh subsidi migas adalah alat untuk mengendalikan inflasi agar tidak menimbulkan gejolak ekonomi.
Oleh karenanya Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan mestinya bertanggung jawab terhadap menurunnya penerimaan negara dari migas.
Seharusnya Sri Mulyani mengerti masalah ini dan mengerjakan tugasnya untuk menaikkan produksi minyak nasional.
Jangan berpangku tangan menunggu hasil dan hanya mengandalkan penerimaan negara dengan memungut pajak dari rakyat dan mengabaikan urusan stragis yakni mengurus migas dan sumber daya alam.
Caranya menteri keuangan harus menegur SKK migas agar jangan makan gaji buta dan meminta SKK migas melakukan langkah yang berarti dalam mengurus Hulu migas nasional.
Kalau memang SKK migas sudah lumpuh, mengapa tidak dibubarkan saja.
Lembaga ini dibentuk oleh presiden, maka presiden bisa membubarkannya.
Sri Mulyani bisa meminta presiden Jokowi untuk membubarkan lembaga ini.
Opini: Salamuddin Daeng, Peneliti pada Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).***