ARAH NEWS – Salah satu indikator utama sehat tidaknya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah terpenuhinya target produksi minyak dan gas (Migas) nasional.
Jika target produksi migas tidak tercapai maka APBN Indonesia makin terpuruk.
Dampaknya stabilitas ekonomi Memburuk dan ketahanan nasional terancam.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Diplomasi Ekonomi Indonesia – Australia, Evaluasi 5 Tahunan CEPA dan Isu Mineral Kritis
Indonesia Berpotensi Selamatkan Jutaan Nyawa, Biofarma dan Gates Foundation Kembangkan Vaksin TBC
CSA Index Naik ke 73,3, Mayoritas Analis Percaya Sektor Ekspor Jadi Penopang IHSG

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak kekuasaan dalam membuat regulasi, melakukan pengawasan hulu migas diserahkan pada Satuan Kerja Khusus Migas (SKK), Produksi minyak nasional sekarang mencapai titik terendah.
Sekarang keadaan produksi migas tidak menunjukkan akan pulih karena tidak ada strategi untuk memulihkannya.
Meskipun SKK membuat target yang bombastis yakni satu juta barel produksi minyak sehari, namun faktanya dalam beberapa tahun terakhir produksi tak pernah naik hanya sekitar 600-700 ribu barel sehari.
Baca Juga:
Presiden Prabowo Terima Laporan Mentan Amran Terkait Peningkatan Produksi dan Serapan Beras Nasional
Ada atau tidak ada SKK Migas, produksi tetap segitu gitu aja. Bahkan ada pandangan yang mengatakan bahwa keberadaan SKK migas justru menjadi biang kerok dari terpuruknya lifting migas nasional.
Regulasi yang tidak pasti, tumpang tindih peraturan dan kelembagaan migas yang kacau tidak dapat diatasi oleh SKK migas.
Investasi sektor migas menghadapi keadaan yang tidak nyaman di Indonesia.
Padahal sekarang Indonesia memiliki momentum untuk menikmati hasil migas.
Baca Juga:
Direktur Utama BUMN yang Tak Berprestasi dan Malas-malasan, Presiden Prabowo Subianto: Ganti!
Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik, Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan oleh Press Release
Kenaikan harga minyak hingga menembus 115-120 dolar per barel dan gas mencapai 8 dolar per MMBTU merupakan kesempatan Indonesia mendapatkan uang besar satu hasil migas.
Namun karena produksi migas yang makin menurun mengakibatkan kesempatan itu hilang begitu saja.
Semua negara penghasil migas panen raya, sementara Indonesia gigit jari. Sumbangan sekor migas kepada APBN makin tidak significant.
Padahal penerimaan negara dari migas atau bagi hasil migas melalui skema cost recovery dan grossplit merupakan sumber anggaran negara dalam melakukan subsidi BBM.
Lebih jauh subsidi migas adalah alat untuk mengendalikan inflasi agar tidak menimbulkan gejolak ekonomi.
Oleh karenanya Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan mestinya bertanggung jawab terhadap menurunnya penerimaan negara dari migas.
Seharusnya Sri Mulyani mengerti masalah ini dan mengerjakan tugasnya untuk menaikkan produksi minyak nasional.
Jangan berpangku tangan menunggu hasil dan hanya mengandalkan penerimaan negara dengan memungut pajak dari rakyat dan mengabaikan urusan stragis yakni mengurus migas dan sumber daya alam.
Caranya menteri keuangan harus menegur SKK migas agar jangan makan gaji buta dan meminta SKK migas melakukan langkah yang berarti dalam mengurus Hulu migas nasional.
Kalau memang SKK migas sudah lumpuh, mengapa tidak dibubarkan saja.
Lembaga ini dibentuk oleh presiden, maka presiden bisa membubarkannya.
Sri Mulyani bisa meminta presiden Jokowi untuk membubarkan lembaga ini.
Opini: Salamuddin Daeng, Peneliti pada Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).***