ARAH NEWS – Pemerintah disinyalir menyampaikan informasi salah dalam menyampaikan kenaikan BBM pada Sabtu, 3 September 2022 lalu.
Dalam pengumuman kenaikan harga BBM, Para pengambil keputusan menyampaikan kenaikan harga pertalite dan solar dilakukan dalam rangka menyelamatkan agar APBN tidak jebol.
Nyatanya, baru dirilis 26 September 2022 kemarin APBN pada Agustus 2022 dinyatakan surplus sebesar Rp107,4 triliun.
Dalam publikasi APBN Kita hingga 31 Agustus 2022, pendapatan negara mencapai Rp1.764,4 triliun atau 77,9% dari pagu.
Baca Juga:
Genjot Ekspor Komoditi Pertanian Nasional ke Jepang, Wamentan Sudaryono Gandeng BI di Tokyo
Sementara dari pos Belanja Negara, realisasinya mencapai Rp1.657 triliun atau 53,3% target APBN sesuai Perpres 98/2022 (Pagu) hingga akhir Agustus ini.
Rinciannya, terdiri dari realisasi belanja pemerintah pusat Rp1.178,1 triliun, serta realisasi transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp478,89 triliun atau 59,5% dari pagu, tumbuh sebesar 1,3% (yoy).
Pengumuman Surplus APBN per 31 Agustus 2022 Rp107,4 triliun membuat publik bertanya, kok tega benar.
Kenapa 3 hari kemudian diumumkan untuk menghindari APBN jebol, BBM Pertalite dan Solar harus dinaikan menjadi Rp10,000 dan Rp6,800 atau naik sekitar 30,72-32.04 persen.
Baca Juga:
CSA Index Oktober Tembus 76,09: Pelaku Pasar Optimis Pemerintahan Baru Akan Dorong Pertumbuhan IHSG
Padahal APBN mencapai surplus per 31 Agustus 2022 alias punya ada dana yang memadai.
Ditambah lagi ternyata per 31 Agustus 2022 ada SILPA (selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran) sebesar Rp394,2 triliun.
Ini lebih tinggi dari bulan sebelumnya Juli 2022 yaitu Rp 302,4 triliun dan jauh dari tahun lalu yang sebesar Rp 148 triliun.
Dalam narasi Pemerintah, Jumlah subsidi BBM sebesar Rp 502,4 triliun ini, kuota subsidinya hanya cukup untuk 23 juta kiloliter (kl) pertalite dan 15,1 juta kl solar.
Baca Juga:
Minergi Media Luncurkan Portal Tambangpost.com Dukung Hilirisasi Tambang dan Ketahanan Energi
Rencana Pertemuan Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto Ditanggapi Presiden Jokowi
Setelah kalkulasi lagi, anggaran subsidi tersebut hanya bisa mencukupi kebutuhan sampai pada awal Oktober 2022.
“Kalau dipaksakan sampai akhir tahun atau Desember 2022, maka pemerintah mengestimasikan kebutuhan BBM yang disubsidi menjadi 29,1 juta kl untuk pertalite dan 17,4 kl untuk solar.
“Sehingga akan muncul lagi tambahan kebutuhan subsidi sekitar Rp 195 triliun. Artinya total kalau kita lakukan itu (subsidi) bisa sampai Rp 700 triliun.”
“Uangnya dari mana? Enggak mampu APBN kita,” tutur Presiden Jokowi sebagaimana dikutip berbagai media
Disini terlihat pemerintah tidak jujur saat mengumumkan kenaikan BBM 3 September lalu.
Berdasarkan kalkulasi APBN KITA, per 31 Agustus Pemerintah memiliki ruang fiskal dari Surplus APBN dan SILPA totalnya sebesar Rp501,6 triliun dengan rincian Surplus APBN Rp107,4 triliun dan SILPA Rp394,2 triliun.
Bila berpihak pada rakyat, seharusnya tambahan kebutuhan subsidi sekitar Rp195 triliun dapat diambil dari keluasan ruang fiskal per 31 Agustus tersebut Rp501,6 triliun. Toh masih ada selisih positif Rp306,6 triliun.
Jelas sekali, selain tidak jujur terkait data surplus dan SILPA, Pemerintah juga tidak mau mengambil keluasan ruang fiskal tersebut untuk memperbesar subsidi BBM tersebut.
Rakyat dikorbankan, inflasi sengaja dibuat naik terutama komponen inflasi administered price-nya, agar peluang bisnis SPBU swasta semakin marak.
Bila itu yang terjadi seharusnya pengawas pemerintah yaitu anggota DPR RI bisa memanggil pemerintah untuk menjelaskan duduk persoalannya.
Apakah rakyat bisa menggugat kebohongan narasi APBN Jebol tersebut?
Apakah alasan BBM naik untuk melayani kepentingan bisnis tertentu dapat dibenarkan?
Pertanyaan seperti ini harus dijawab oleh pemerintah saat ditanya oleh anggota DPR.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Masalahnya adalah DPR seperti apa yang bisa membela rakyat manakala anggota DPR sudah tersandera oleh partai politiknya yang harus selalu setuju dengan pemerintah.
Kacau demokrasi Indonesia hari ini!
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute.***