Oleh: Archanda Thahar, Mantan Menteri ESDM
ARAHNEWS – Krisis energi yang melanda dunia hari ini merupakan krisis multi dimensi yang tidak pernah terjadi dan terpikirkan sebelumnya.
Bagaimana tidak, pada saat krisis energi tahun 1970an hanya punya satu dimensi yaitu terganggu suplai minyak dari Timur Tengah ke Amerika Serikat (AS).
Solusi yang dijalankan oleh pemerintah AS waktu itu lebih sederhana; mengurangi ketergantungan impor minyak dengan cara melakukan eksplorasi dan produksi minyak di dalam negeri sendiri.
Baca Juga:
Dituntut Bayar Ganti Rugi Rp482 Miliar; Koperasi Unit Desa Delima Sakti Gugat Balik LSM AJPLH
Menko Airlangga Hartartato Beberkan Sejumlah Langkah untuk Tarik Investor Global Masuk Indonesia
Strategi ini berjalan baik dengan naiknya produksi minyak di AS, bahkan saat ini lebih besar dari produksi minyak dari Arab Saudi.
Kalau kita telaah lebih dalam, krisis energi sekarang tidak saja menyangkut masalah minyak tapi juga menjalar ke masalah gas alam, batubara, kelistrikan dan pangan.
Belum lagi isu perubahan iklim yang juga erat kaitannya dengan krisis energi saat ini.
Kerumitan inilah yang sedang melanda dunia setelah optimisme akan terkendalinya wabah Covid-19 menampakan titik terang.
Baca Juga:
KPK Selidiki Kasus di Kementan Soal Korupsi Penggelembungan Harga Asam untuk Kentalkan Karet
Berbeda dengan krisis energi tahun 1970an, dimana saat itu hanya melanda negara AS, sekarang ini krisis tersebut terjadi di banyak negara di Eropa (EU).
Salah satu faktor utama dari krisis Eropa adalah suplai gas yang tidak mencukupi kebutuhan selama musim dingin akibat perang Rusia dan Ukraina.
Embargo terhadap komoditas energi dari Rusia yang dilakukan oleh negara-negara Barat, berbalik arah menjadi sebuah krisis energi yang melanda Eropa.
Beberapa negara melakukan langkah aksi dengan menghidupkan kembali PLTU dan memperpanjang masa pengoperasian PLTN yang semula dijadwalkan untuk pensiun.
Baca Juga:
Usai Diputuskan Hubungan Asmaranya oleh Sang Pacar, Seorang Pria Berikan Reaksi yang Mengejutkan
Prabowo Subianto dan MBZ Saksikan Pertukaran MoU RI UEA di Bidang Industri hingga Kesehatan
Ini berarti kebutuhan Eropa terhadap batubara akan naik. Sayangnya kebutuhan batubara yang selama ini di suplai oleh Rusia juga terhenti akibat embargo oleh EU sendiri.
Menurut data yang kami peroleh, sejak Agustus 2022 sudah tidak ada lagi batubara yang masuk ke EU. Akibatnya harga batubara mencapai level tertinggi dalam sejarah pada awal September 2022.
Data perdagangan Senin (5/9/2022) mencatat harga batu kontrak Oktober di pasar ICE Newcastle ditutup di US$ 463,75 per ton.
Apakah kesulitan yang dialami oleh negara-negara Eropa ini bisa teratasi dalam waktu dekat? Atau malah sebaliknya, makin dalam dan bisa tidak terkendali.
Ada dua peristiwa penting yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan.
Pertama, bulan Desember 2022 adalah batas akhir yang diputuskan oleh EU untuk menghentikan seluruh impor minyak mentah dari Rusia ke negara-negara Eropa (EU).
Sebelumnya hanya Inggris (UK) dan Amerika Serikat (AS) yang menghentikan perdagangan minyak dengan Rusia.
Walaupun dihentikan UK dan AS, sebagian minyak mentah ini dibeli oleh China, India dan Turki yang mungkin mendapat harga khusus.
Kami belum bisa membayangkan apa yang terjadi kalau seluruh negara EU menghentikan impor minyak dari Rusia ini pada bulan Desember 2022?
Menurut data yang kami peroleh, pada bulan September 2022 EU masih mengimpor minyak mentah sebesar 2.6 juta barrel per day (bpd) dari Rusia. Angka ini sekitar 2.6% kebutuhan minyak dunia.
Secara logika, EU perlu mencari minyak mentah pengganti yang 2.6 juta bpd ini dari negara lain selain Rusia.
Sementara Rusia juga butuh pasar yang baru untuk menyerap 2.6 juta bpd yang di tolak EU tersebut.
Dari situasi ini kemungkinan akan terjadi pergerakan perdagangan minyak mentah dunia yang masif dan membuat harga bergejolak.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Untuk sedikit membuat rumit, belum tentu minyak mentah pengganti cocok dengan kilang-kilang di Eropa.
Ibarat rumah makan Padang yang akan memasak rendang daging sapi tapi yang tersedia bukan daging sapi.
Peristiwa kedua pada bulan Februari 2023 adalah batas akhir yang diputuskan oleh EU untuk menghentikan seluruh impor BBM (middle distillate) dari Rusia ke negara-negara Eropa (EU).
Sama seperti minyak mentah, BBM dari Rusia ini akan mencari pasar selain EU, sementara EU akan mencari BBM yang bukan berasal dari Rusia.
Pertanyaan menggelitik, kalau sudah menjadi BBM dan diperdagangkan oleh trader, apa mungkin kita bisa mengidentifikasi BBM ini berasal dari kilang dimana?
Ibarat rumah makan Padang, kalau sudah menjadi rendang apa mungkin kita mengetahui secara pasti rendang ini dibuat oleh restoran mana? Perlu keahlian khusus dan tidak mudah.
Dua pertistiwa yang kemungkinan besar akan terjadi tentu akan berdampak terhadap harga energi ke depan.
Masing-masing negara akan mencermati dan memitigasi resiko-resiko yang mungkin muncul akibat dari dua peristiwa ini.
Perlu kita simak dan belajar pada strategi OPEC+. Bisa jadi OPEC+ tetap pada keputusan untuk menurunkan volume produksi pada bulan-bulan kedepan yang belum tentu sejalan dengan strategi negara-negara barat.
Antar negara barat sendiri terutama EU dan AS juga terjadi perbedaan strategi dalam menghadapi krisis multi dimensi ini.
Semoga situasi yang kini terjadi di EU dan gejolak energi dunia yang belum pasti kapan akan berakhir ini, menjadikan kita belajar dan menyiapkan strategi energi yang lebih baik, sehingga menguntungkan seluruh masyarakat.
Sebagaimana dikutip akun Facebook Archandra Thahar.***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Arahnews.com, semoga bermanfaat.