ARAH NEWS – Pembentukan koalisi memang tidak lepas dari kepentingan jangka pendek. Kenapa demikian? Alasannya tidak lain untuk mengusung calon yang akan di pilih pada Pilpres 2024 nanti.
Setelah Pilpres selesai koalisi yang kalah akan mencari suaka politik baru untuk mempertahankan eksistensi partai.
Atau mencari kursi baru di pemerintahan dengan alasan untuk menjalin kerjasama atas kepentingan rakyat.
Sering kali terjadi ketika pemilihan selesai koalisi terpecah-belah bahkan ada partai koalisi pindah haluan ke koalisi lawan.
Baca Juga:
John Legend Siap Menghibur Penggemar di Sentul: Harga Tiket dari Rp900 Ribu dan Semua Detail Penting
Mantan Wali Kota Alice Guo Ditangkap di Kawasan Tangerang, Buronan Otoritas Pemerintah Filipina
Contoh sederhana ketika Pilpres 2019 partai Gerindra yang dikomandoi Prabowo Subianto pindah haluan ke koalisi pemerintahan Jokowi.
Meskipun jalan yang ditempuh terkadang tidak sesuai dengan harapan koalisi pra-Pilpres, namun parpol koalisi harus realistis dan membangun kerjasama baru atas dasar kepentingan negara sehingga mengurangi terjadinya konflik atau keterbelahan pasca-Pilpres.
Sebaliknya, kita melihat bahwa pembentukan koalisi ini hanya membahas untung rugi partai politik bahkan tidak menyentuh keikutsertaan masyarakat di daerah untuk berpartisipasi dalam proses persiapan pemilu.
Koalisi justru terbentuk bukan di ruangan terbuka, melainkan di lingkaran elit politik yang mempunyai jabatan tinggi, baik itu di partai politik atau pun di lingkungan pemerintahan.
Baca Juga:
Sekjen PSI Raja Juli Antoni Beri Penjelasan Soal Kabar Kaesang Pangarep Tak Diketahui Keberadaanya
Termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi, Eksponen Aktivis 98 Sebut Kaesang Pangarep Rugikan 2 Pihak
Sehingga tidak heran ketika koalisi terbentuk proses konsolidasi partai sangat rumit dan sering terjadi tarik ulur kepentingan.
Jika dilihat dari proses terbentuknya koalisi, seperti halnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), pembentukannya dinilai sangat cepat.
Bahkan sampai saat ini KIB belum mendeklarasikan nama-nama calon yang akan diusung pada Pilpres 2024 nanti.
Tentu menjadi pertanyaan apakah pembentukan koalisi hanya sebatas euforia pra-Pilpres 2024 saja?
Baca Juga:
Wawancara Presiden Jokowi Dituding Merupakan Gimmick atau Settingan, Pihak Istana Beri Tanggapan
Apakah peta koalisi akan mengalami perubahan? Tentu jawabannya adalah iya, pembentukan koalisi hanya sebatas euforia pra-Pilpres 2024.
Sehingga pengerucutan koalisi dan perubahan peta koalisi akan terjadi. Kenapa bisa demikian?
Pertama, partai politik masih terbelenggu oleh tarik-menarik kepentingan antara koalisi partai pemerintahan Jokowi dengan koalisi parpol yang baru terbentuk.
Sehingga keberadaan koalisi baru dan petinggi partai di tubuh pemerintahan Jokowi, ibaratkan simalakama.
Disatu sisi mendukung pemerintahan Jokowi, dilain sisi berani membentuk koalisi baru, sedangkan partai penguasa Pemerintah (PDIP) belum menentukan langkah-langkah konkrit untuk Pilpres 2024.
Ini yang kemudian mengisyaratkan kehadiran koalisi adalah untuk kepentingan jangka pendek bukan untuk menuntaskan program pemerintah yang masih tersisa sampai 2024.
Kedua, jika dilihat dari keikutsertaan masyarakat dalam menyambut Pilpres 2024, ada lapisan masyarakat yang membentuk barisan pendukung salah satu calon yang akan diusung pada Pilpres 2024.
Ada yang menamakan diri relawan politik seperti relawan Anis, relawan Ganjar (Ganjarist, Srikandi) dan lain sebagainya.
Ini yang menandakan bahwa keinginan masyarakat untuk memilih calon yang akan diusung, sudah mulai terdistribusi sampai ke daerah.
Akan tetapi keinginan ini justru terpatahkan ketika para elit di koalisi mempunyai calon yang berbeda dengan pilihan masyarakat di akar rumput atau grassroots. Sehingga tarik menarik kepentingan kembali terjadi.
Seharusnya koalisi politik yang sudah terbentuk, menampung nama-nama calon potensial berdasarkan keinginan dari beberapa daerah, bukan mendominasi keinginan koalisi semata.
Kondisi ini yang kemudian menjadi tolak ukur bahwa peta koalisi akan mengalami perubahan ketika partisipasi di daerah menjadi perhatian khusus.
Namun yang terjadi hari ini adalah keterbelahan dan perbedaan pandangan antara koalisi dan relawan politik di daerah.
Bahkan ketika calon yang diusung relawan politik berbeda dengan keinginan koalisi partai politik.
Niscaya pertarungan antara elit politik dan relawan politik pun tidak dapat dihindari.
Ketika calon yang diusung sama-sama mempunyai daya pikat yang tinggi atau nilai elektabilitas tinggi, tunggu apalagi, sudah seharusnya deklarasi calon.
Jika terus menunggu partai koalisi lain untuk deklarasi terlebih dahulu, untuk apa terburu-buru berkoalisi, toh jadinya koalisi mandul.
Karena seiring berjalannya waktu, calon yang diusung akan diuji kembali elektabilitasnya sehingga hitung-hitungan elektabilitas calon bisa di takar lebih cepat, jika kurang bisa di tambah dan dipoles kelemahan calon masing-masing.
Terakhir, akan terjadi peleburan koalisi pra-Pilpres 2024 ketika partai Penguasa mendeklarasikan nama calon potensial yang mempunyai elektabilitas tinggi.
Koalisi yang belum mendeklarasikan nama calon berpotensi tinggi untuk nempel ke koalisi partai yang mengusung nama calon dengan elektabilitas tinggi tersebut.
Sehingga tidak heran terjadi ketika koalisi lebih mementingkan kepentingan jangka pendek.
Oleh: Ikhwan Arif, Pengamat Politik dan Pendiri Indonesia Political Power.***