ARAHNEWS.COM – Ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyidangkan kasus pemalsuan akta otentik, menegur terdakwa Samuel Purba dan Nurcholis untuk berkata yang jujur dalam persidangan.
Kedua terdakwa mendapat teguran keras karena banyak hal yang disampaikan tidak berkesesuaian selama berjalannya persidangan.
“Saya mengingatkan ya, saudara terdakwa kalian bebas ngomong di sini,” ucap majelis hakim yang memimpin sidang, Abdul Kohar Adeng di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Kalian memang tidak disumpah, tapi apa yang kalian ucapkan kami catat dan disini banyak rekaman,” imbuhnya, Senin, 16 Januari 2023.
Baca Juga:
CSA Index Oktober Tembus 76,09: Pelaku Pasar Optimis Pemerintahan Baru Akan Dorong Pertumbuhan IHSG
Bahkan, dengan nada satire ketua majelis hakim menyebut bahwa para hakim yang menyidangkan kasus itu bukanlah hakim yang baru bertugas atau baru dilantik sebagai hakim.
“Perlu juga kalian ingat, kami ini bukan hakim yang baru dilantik,” tegasnya.
Hakim menyebut kehadiran terdakwa dipersidangan memang tidak disumpah.
Tapi bukan berarti terdakwa bisa menyampaikan keterangan yang seenak-enaknya, karena semua ada bukti.
Baca Juga:
Minergi Media Luncurkan Portal Tambangpost.com Dukung Hilirisasi Tambang dan Ketahanan Energi
Rencana Pertemuan Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto Ditanggapi Presiden Jokowi
“Pembuktian itu bukan dengan seenak-enak kalian saja. Ada saksi, alat bukti. Direkam semuanya,” lontar Adeng.
Ketua majelis hakim lalu tertuju kepada Nurcholish yang dalam persidangan mengenakan kemeja putih, duduk di sebelah kiri Samuel Purba.
“Saudara (Nurcholis) pada saat memberikan keterangan sebagai saksi mengatakan tidak tahu kalau akan dibuatkan akta nomor 5.”
“Jadi benar yang mengajak silaturahmu adalah Samuel Purba?” tanya majelis hakim
Baca Juga:
Atas pertanyaan itu, Nurcholis menjawab tanpa jeda berpikir. “Iya,” ucapnya singkat.
Nurcholis juga mengamini keterangan atas pendapatnya yang disampaikan oleh majelis hakim bahwa yang menyiapkan dokumen para pihak di kantor notaris Bonardo Nasution adalah Samuel Purba.
Hakim lalu membacakan keterangan perjanjian dalam akta, di mana seolah-olah pembayaran atas perjanjian telah dilunasi.
Padahal, faktanya, di hadapan majelis hakim Nurcholis mengaku dirinya tidak permah menerima sepeserpun uang sebagaimana yang disebutkan dalam akta tersebut.
Saudara terima uang sebagaimana dalam perjanjian akta itu, kejar majelis hakim. Nurcholis pun menjawab.
“Tidak, Pak,” ucapnya.
Majelis hakim lalu membacakan klausul dalam perjanjian akta yang berbunyi: dengan dibayarkannya pembayaran di atas maka segala perjanjian terdahulu diabaikan.
Dan semua kewajiban pihak kedua kepada pihak pertama menjadi lunas dan tidak ada kewajiban apapun lagi dan tidak ada tuntutan apapun dan seterusnya.
Hakim lalu menanyakan kepada Nurcholis atas bunyi klausul itu karena dalam bunyi perjanjian tersebut tidak pernah disangkalnya.
“Saya sangkal, Pak pada waktu itu karena tidak dibacakan,” lontar Nurcholis.
Kendati menyangkal dan diakui dirinya sama sekali tidak pernah menerima sepeserpun pembayaran, klausul dalam perjanjian akta itu diakuinya tetap ditandatangani.
Alasannya, karena terpaksa.
“Karena saya dibujuk sama Pak Sapar,” katanya.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Lebih lanjut hakim mencecar Nurcholis.
“Anda tahu tandatangan itu apa artinya?” majelis melempar pancingan.
“Tau, Pak, menyatakan bahwa saya tahu isinya,” jawab Nurcholis enteng.
Jawaban itu lalu direspons.
“Nah, iya. Itu dia. Membenarkan tentang isi ini. Mengakui bahwa Hutang Samuel itu sudah lunas lewat akta ini,” tegas ketua majelis hakim Adeng.
Nurcholis yang tersudut dengan pancingan majelis hakim lalu mengakui dengan jawaban polos, “Iya, Pak”.
Terakwa Samuel Ditegur Hakim
Terdakwa Samuel Purba yang mendapat giliran pertanyaan majelis hakim, beberapa kali berusaha menguraikan panjang lebar keterangannya.
Tapi majelis hakim memotong penjelasan terdakwa Samuel karena dianggap tidak ringkas, padat dan to the point pada masalah yang ditanyakan.
“Jangan terlalu panjang lebar, saya itu mau langsung ke pokok persoalan.”
“Jangan dibawa ke alam yang lain, langsung ke pokok pemeriksaan ini saja,” potong majelis hakim saat Samuel ditanyai tentang inisiatif pembuatan akta tersebut.
Samuel yang ditanyai hakim berkelit dan melempar bola pertanyaan hakim ke Saparudin yang sudah almarhum.
“Dia (Saparudin) bilamg sama saya, sudah siap, Pak.,” jawab Samuel, menyebut bahwa inisiatif itu dimulai oleh Saparudin yang telah almarhum.
Atas jawaban itu, majelis hakim menjawab Samuel dengan nada meledek.
“Memang enak Pak, membebankan dosa pada orang yang gak ada (telah meninggal) itu karena kami tidak bisa menanyai (orang yang sudah meninggal),” ujar hakim.
Samuel juga menyebut bahwa dirinya telah membayar proses perjanjian sebagaimana tercantum dalam akta.
Pembayaran itu disebutkannya dilunasi kepada Mansyur Dahlan yang sudah meninggal dunia.
“Yang Rp 1 miliar dan 600 juta kepada Mansyur Dahlan, yang 300 juta kepada Saparudin,” ucap Samuel Purba menjawab pertanyaan majelis.
Dari ulasan terdakwa Samuel, majelis kembali melontar pertanyaan tekait nasib yang cek pembayaran Rp 2,6 miliar, yang disebut ‘mengendap 3 tahun di kantor notaris.
“Saya tidak tahu Pak karena yang Pak Santoso sendiri menjelaskan,” jawab Samuel yang langsung dipotong hakim karena dinilai tidak relevan.
Terdakwa Samuel tak bisa menjelaskan dengan kongkrit mengenai nasib pembayaran lewat cek sebesar Rp 2 miliar yang disebutnya telah disetor kepada Mansyur Dahlan.
Dalam persidangan Samuel menyitir bahwa dirinya tidak punya hutang. Hal itu didasarkan pada butir nomor perjanjian akta.
Namun, belum lagi selesai Samuel menjabarkan majelis hakim menyalip pertanyaan berdasarkan akta nomor 5 yang menyatakan bahwa hutang terdakwa lunas.
“Sebenarnya udah dilunasi belum,” tanya majelis hakim
Pertanyaan hakim menggiring terdakwa dengan jawaban, “Belum, Pak.”
Padahal, dalam klausul yang dibuat dalam perjanjian akta terdapat kalimat berbunyi: dengan dibayarkannya pembayaran di atas maka segala perjanjian terdahulu diabaikan.
Dan semua kewajiban pihak kedua kepada pihak pertama menjadi lunas dan tidak ada kewajiban apapun lagi dan tidak ada tuntutan apapun dan seterusnya.
“Kenapa saudara mencantumkan klausul ini,” tegur majelis hakim sambil memperlihatkan lembaran kertas perjanjian akta ke arah terdakwa.
Sidang pemalsuan akta otentik dengan agenda pemeriksaan terdakwa ini cukup menarik perhatian pengunjung.
Karena diwarnai banyak perdebatan antara majelis hakim dan terdakwa juga pertanyaan sengit yang dilempar oleh Jaksa Penuntut Umum Fredrick Christian.
Selain pemeriksaan terdakwa, persidangan juga menghadirkan ahli pidana Jamin Gintimg di sesi awal persidangan.
Jamin Ginting dihadirkan sebahai Ahli meringankan untuk terdakwa Samuel Purba.
Pada sesi ini, Ahli disuguhi sejumlah pertanyaan oleh tim kuasa hukum terdakwa Samuel Purba yang dimotori advokat Daniel Hutabarat.
lkhwal Persoalan
Perbuatan pidana dalam kasus ini berawal dari permasalahan sengketa tanah antara saksi korban Drs. Santosa Brata Djaja dengan saksi Samuel Purba (yang dilakukan penuntutan secara terpisah).
Yaitu sama-sama mengaku sebagai pembeli yang sah terhadap tanah milik Adat Girik No.C 343, Persil 21 Sill atas nama Miot Binti Miah seluas kurang lebih 30.810 m2 No.385, yang terletak di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Dalam sengketa tersebut dari putusan perdata pada Peradilan Tingkat Pertama, Banding, Kasasi dan PK (peninjauan kembali) semuanya dimenangkan oleh saksi korban Santosa.
Selaku penggugat dan tanah yang terletak di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Kota Jakarta Timur adalah secara hukum sah dibeli oleh saksi korban Santosa Brata Djaja.
Karena kalah dalam perkara perdata, kemudian saksi Samuel Purba mengajak saksi korban Santosa untuk berdamai.
Selanjutnya, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai dan dibuatlah Akta Perjanjian Perdamaian No 4 tanggal 01 September 2008, Akta Pernyataan No.157 tanggal 22 Oktober 2008 dan Akta Adendum No.49 tanggal 06 November 2008 yang dibuat dan ditandatangani di Kantor Notaris Buntario Tigris, SH.
Salah satu klausul dalam Akta Perjanjian tersebut disepakati pihak saksi Samuel wajib memberikan uang kompensasi sebesar Rp 4,5 miliar kepada saksi korban Santosa.
Tetapi beberapa tahun kemudian tanpa seijin dari saksi korban Santosa, pada tanggal 17 April 2012 dengan inisiatif sendiri saksi Samuel mendatangi terdakwa Bonardo Nasution selaku Notaris dan PPAT, yang juga merupakan temannya di City Walk Sudirman, untuk meminta atau menyuruh dibuatkan Akta Otentik berupa Akta Penyelesaian Kewajiban No. 5 tanggal 17 April 2012.
Akta Otentik tersebut dibuat tanpa sepengetahuan dan tanpa kehadiran dari saksi korban Santosa selaku pihak terkait yang wajib hadir dalam pembuatan Akta Otentik tersebut.
Karena saksi Samuel adalah teman baik terdakwa, maka pada saat itu terdakwa langsung membuat Akta otentik berupa Akta Penyelesaian Kewajiban No.5 tanggal 17 April 2012 tanpa dilengkapi dokumen-dokumen yang sah, dan tidak sesuai dengan SOP/prosedur yang berlaku dalam pembuatan suatu Akta Otentik.
Terdakwa juga sudah menyadari kalau isi dari Akta otentik yang dibuatnya tersebut tidak benar karena terdakwa tidak pernah sama sekali melakukan cek data, dan memverifikasi dokumen-dokumen atau menanyakan langsung kepada saksi korban Santosa.
Terkait kebenaran dari isi Akta otentik berupa Akta Penyelesaian Kewajiban No.5 tanggal 17 April 2012 sebagaimana yang diamanatkan atau disyaratkan dalam pasal 16 Ayat (1) huruf m Undang-undang No.2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yakni “kewajiban pembacaan Akta oleh Notaris dihadapan penghadap dan saksi”.
Adapun inti dari isi Akta Penyelesaian Kewajiban No. 5 tanggal 17 April 2012 yang dibuat oleh terdakwa tersebut adalah sebagai berikut:
Bahwa saksi korban Santosa telah menerima uang kompensasi dari saksi Samuel Purba dengan rincian:
1. Rp600 juta pada tanggal 06 November 2008
2. Rp1 miliar pada tanggal 08 Maret 2012 dengan giro Bank BCA No.385826.
3. Rp300 ratus juta telah diterima sebelum Akta ini dibuat.
4. Rp2 miliar dengan cek No.127156 tanggal 1 Mei 2012.
5. Rp600 ratus juta dengan cek No.127157 tanggal 01 Mei 2012
Bahwa ternyata Akta otentik berupa Akta Penyelesaian Kewajiban No. 5 tanggal 17 April 2012 tersebut adalah akal-akalan dari saksi Samuel Purba dengan terdakwa Bonardo Nasution yang mana isinya seolah-olah benar dengan fakta yang sebenarnya.
Padahal kenyataannya sampai saat ini saksi korban Santosa Brata Djaja tidak pernah menerima uang satu rupiah pun dari saksi Samuel Purba sebagaimana yang tertuang dalam Akta Penyelesaian Kewajiban tersebut.
Malahan Akta Penyelesaian Kewajiban No. 5 tanggal 17 April 2012 itu digunakan saksi Samuel Purba sebagai salah satu syarat untuk menjual tanah milik saksi Santosa, Girik No.C 343, Persil 21 SIII atas nama Miot Binti Miah seluas kurang lebih 30.810 m2 No 385, yang terletak di Kelurahan Cipayung Kecamatan Cipayung Jakarta Timur.
Tanah yang semula atas nama PT Bina Kualita Teknik itu dijual oleh saksi Samuel Purba kepada PT. Sumber Daya Nusaphala berdasarkan Akta Jual Beli No 30/2012 tanggal 20 Nopember 2012 dan terakhir dari PT. Sumber Daya Nusaphala telah mengalihkan haknya kepada PT Sayana Integra Properti berdasarkan Akta Jual Beli No 556/2014 tanggal 11 Desember 2014.
Dan, sampai sekarang saksi Santosa Brata Djaja tidak pernah menerima uang ganti rugi/kompensasi sebagaimana yang telah disepakati sebesar Rp 4,5 miliar.***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Arahnews.com, semoga bermanfaat.