ARAH NEWS – Gak perlu kaget! Semua tentang Anies akan selalu disoal. Tentang apa saja.
Ini semua akan berhenti jika Anies tidak didorong untuk mencalonkan diri jadi presiden. Anies itu ancaman.
Pertama, ancaman buat bisnis gelap. Segelintir orang terlalu kaya di Indonesia merampok uang negara dengan sangat leluasa.
Anies terbukti dan akan selalu dianggap berpotensi menjadi penghalang.
Baca Juga:
Dituntut Bayar Ganti Rugi Rp482 Miliar; Koperasi Unit Desa Delima Sakti Gugat Balik LSM AJPLH
Menko Airlangga Hartartato Beberkan Sejumlah Langkah untuk Tarik Investor Global Masuk Indonesia
Kedua, Anies ancaman buat kepentingan politik pihak tertentu. Anies punya kans besar untuk menjadi presiden.
Lawan politik akan terus menghalangi dan menjegalnya. Mereka tidak hanya pasang kuda-kuda, tetapi secara sistemik dan masif akan terus menyerang.
Satu-satunya serangan yang dianggap paling efektif selama ini adalah “black campaign” atau “fitnah Anies”.
Mereka menggunakan pertama, buzzer. Ini orang-orang bayaran dan sangat profesional.
Baca Juga:
KPK Selidiki Kasus di Kementan Soal Korupsi Penggelembungan Harga Asam untuk Kentalkan Karet
Kedua, memanfaatkan pihak-pihak yang kecewa atau membenci Anies. Efek pilkada DKI tahun 2017 masih ada, meski sedikit.
Ketiga, kelompok yang tidak suka atau pernah berseteru dengan para pendukung Anies. Mereka disuplai “berita fitnah dan provokatif” secara terus menerus.
Dari sini, muncul istilah kadrun, intoleran, radikal, dan stigma-stigma rasis lainnya.
Anies pernah menantang kapada mereka untuk membuktikan dan menunjukkan “kebijakan mana yang intoleran dan diskriminatif”.
Baca Juga:
Usai Diputuskan Hubungan Asmaranya oleh Sang Pacar, Seorang Pria Berikan Reaksi yang Mengejutkan
Prabowo Subianto dan MBZ Saksikan Pertukaran MoU RI UEA di Bidang Industri hingga Kesehatan
Ini tidak akan bisa dibuktikan, karena tujuan mereka memang bukan untuk membuktikan.
Semata-mata menjalankan “strategi fitnah dan provokatif” untuk tujuan pembusukan dan menjegal Anies.
Secara umum, fitnah kepada Anies ada tiga model. Pertama, model rasis. Mereka menyoal asal usul dan kelompok.
Sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam perpolitikan di Indonesia. Selain melanggar UUD 1945, juga berpotensi menciptakan perpecahan bangsa.
Kedua, serangan yang bersifat umum. Misalnya, Anies distigmakan sebagai gubernur gagal dan tidak bisa bekerja. Anies dituduh gak punya prestasi.
Jakarta dianggap amburadul selama dipimpin Anies. Semua penghargaan yang diterima Anies dibilang rekayasa.
Fakta yang terjadi justru sebaliknya. Bertolak belakang dengan semua yang dituduhkan.
Ketiga, tuduhan yang bersifat spesifik. Sasarannya lebih detil. Semua kebijakan Anies terus dicari celahnya untuk dijadikan sasaran fitnah.
Dalam konteks ini, tim buzzer berbayar harus diakui memang sangat kreatif dalam mendesign fitnah, dan sangat lihai menentukan angle-nya. Benar-benar profesional.
Dengan kemampuan inilah mereka dibayar mahal. Silahkan lacak dari mana meme dan video serangan terhadap Anies. Lalu, cari tahu berapa harga mereka.
Reklamasi disegel Anies. Lalu ada yang membuat video dengan konten ruko-ruko di pulau reklamasi yang sudah dibangun oleh pengembang. Ada pesan ke publik bahwa penyegelan pulau reklamasi hanya pencitraan.
Padahal, 35 persen pulau reklamasi memang hak pengembang untuk membangunnya. 65 persen pulau reklamasi diambil dan menjadi hak Pemprov DKI.
Soal Formula E. Gagal interpelasi di DPRD, ada yang datang ke lokasi untuk mencari gerombolan kambing.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Ini memang terlihat konyol. Tanda sudah kehabisan cara. Semua tumpul. Mereka frustasi, sampai kambingpun diajak berpolitik.
Anggaran sumur resapan sebagai program naturalisasi untuk mengurangi banjir tidak disetujui di DPRD. Program sumur resapan distop.
Datang seorang tokoh partai terperosok, atau memperosokkan diri, di salah satu sumur resapan. Ini juga terlihat konyol. Manuver yang tidak berkelas.
Interpelasi dan stop anggaran, ini memang permainan kasar dan terkesan arogan. Sekaligus menujukkan bahwa upaya untuk jegal Anies memang dilakukan dengan all out.
Tahun 2022 berdiri JIS (Jakarta International Stadium). Selain ada larangan nonton final dan soft launchingnya, disoal pula anggaran dan shalat Idul Fitri di JIS.
Shalat Id politik lah, memaksa pegawai lah… Kumpulan para kadrun dan Islam intoleran lah… dsb.
Bahkan ada yang ribut soal penggagasnya. Anies dianggap tidak berhak klaim itu sebagai karyanya.
Dan memang, Anies tidak pernah klaim JIS, juga semua prestasi Pemprov DKI sebagai karya dan hasil kerja pribadinya. Itu kerja kolaboratif yang melibatkan banyak pihak.
Padahal, kalau mau obyektif, sengketa tanah JIS baru selesai Tahun 2020. Design JIS dibuat tahun 2019. Designnya beda dengan design stadion BMW yang dirancang sebelumnya.
BMW dirancang untuk menampung 40 ribu penonton. JIS sekarang menampung 80 ribu penonton.
Intinya, harus juga diakui, semua ikut andil dan berkontribusi. Gak usah dibentur-benturkan satu dengan yang lain. Bikin gaduh aja.
Any way, semua tuduhan terhadap Anies selalu mendapatkan bukti sebaliknya dengan data dan fakta yang cukup lengkap dan detil.
Meski begitu, tuduhan atau fitnah (black campaign) tidak akan pernah berhenti dan akan terus berjalan. Bahkan mungkin akan lebih sistemik dan masif, mengingat jadual pilpres semakin dekat.
Bagi rakyat Indonesia, ini ironi. Sebuah demokrasi yang ternoda, karena didominasi oleh berita hoax dan fitnah.
Mental rakyat dirusak oleh segelintir orang yang takut keserakahan dan ambisi politiknya terganggu jika Anies jadi presiden.
Mereka menggunakan isu-isu agama dan ideologi yang sensitif, serta slogan-slogan rasisme untuk jegal Anies.
Ini semata-mata hanya bertujuan untuk memproteksi kepentingan mereka saja.
Ada sekelompok masyarakat yang awam politik dimanfaatkan oleh mereka untuk ikut nyerang Anies. Kasihan!
Rakyat mesti sadar dengan selalu melihat pada fakta, dan bersikap obyektif.
Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan tidak ikut terjebak dalam “design fitnah” yang dikelola oleh segelintir mafia itu.
Opini: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.***