ARAHNEWS.COM – Suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, the Fed, sudah naik dari 0 persen menjadi 4 persen, untuk mengendalikan inflasi yang sangat tinggi.
Sayangnya, kenaikan suku bunga the Fed sejauh ini masih belum dapat mengatasi inflasi sesuai harapan.
Inflasi Oktober 2022 masih cukup tinggi yaitu 7,7 persen. Meskipun turun dibandingkan inflasi September 2022 yang sebesar 8,2 persen
Inflasi Oktober ini masih terbilang cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari target inflasi the Fed sebesar 2 persen.
Baca Juga:
KPK Geledah Rumah Dinas Kakak dari Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar, PKB Beri Tanggapan
Selain itu, inflasi bulanan pada Oktober 2022 masih naik 0,4 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Maka itu, diperkirakan the Fed sepertinya masih akan menaikkan suku bunga pada rapat dewan gubernur (FOMC) bulan Desember yang akan datang, menjadi antara 4,50 persen hingga 4,75 persen.
Kenaikan suku bunga the Fed harus diikuti oleh kenaikan suku bunga bank sentral negara-negara lainnya.
Kalau tidak, dolar akan hengkang, kurs terdepresiasi. Ini terjadi dengan rupiah.
Baca Juga:
Tanpa Kompromi, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman Lakukan Bersih Bersih Calo Proyek Pengadaan
Jangan Lewatkan Malam Spesial Bersama John Legend dan Tamu Spesial Siti Nurhaliza & Yura Yunita
John Legend Siap Menghibur Penggemar di Sentul: Harga Tiket dari Rp900 Ribu dan Semua Detail Penting
Bank Indonesia terlambat merespons kenaikan suku bunga the Fed sehingga kurs anjlok, dan cadangan devisa terkuras.
Suku bunga acuan Bank Indonesia hanya naik menjadi 5,25 persen. Kenaikan ini agak terlambat.
Di samping juga tidak cukup tinggi sehingga selisih bunga acuan antara Bank Indonesia dengan the Fed terbilang sangat kecil, memicu dolar keluar dari Indonesia.
Bank Indonesia sepertinya tidak mempunyai pilihan lain lagi, kecuali juga menaikkan suku bunga acuan pada bulan depan, menjadi antara 5,75 persen atau 6,00 persen.
Baca Juga:
Forum LSP Politeknik Indonesia Concern Terhadap Kualitas Lulusan Perguruan Tinggi Vokasi
Mantan Wali Kota Alice Guo Ditangkap di Kawasan Tangerang, Buronan Otoritas Pemerintah Filipina
Kenaikan suku bunga Bank Indonesia membuat suku bunga kredit juga ikut naik, kemungkinan akan menjadi lebih dari 10 persen.
Semua ini akan menekan aktivitas ekonomi. Konsumsi dan investasi akan melemah.
Anjloknya kurs rupiah membuat harga barang-barang import menjadi lebih mahal, memicu inflasi, mengurangi daya beli dan konsumsi masyarakat, dan menekan aktivitas ekonomi.
Ini baru tahap awal, puteran pertama.
Selanjutnya, kenaikan suku bunga the Fed pada saatnya akan berhasil mengendalikan inflasi. Artinya harga komoditas akan turun.
Hal ini membuat pertama, defisit neraca transaksi internasional, yaitu neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan, akan semakin besar sehingga menekan kurs rupiah.
Dan kedua, penerimaan negara akan anjlok, yang pada gilirannya bisa memicu krisis keuangan negara (fiskal).
Terakhir, arus defisit transaksi internasional akan dibarengi dengan defisit transaksi finansial dari investor portfolio yang hengkang, akan menambah tekanan terhadap kurs rupiah semakin berat, dan bisa semakin terpuruk.
Keluarnya investor portfolio bisa memicu gagal bayar utang luar negeri swasta dan BUMN.
Kalau ini berlanjut semakin banyak kasus gagal bayar, maka niscaya bayang-bayang krisis moneter bisa menjadi kenyataan lagi.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies). ***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita, artikel dan informasi dari editor Arahnews.com, semoga bermanfaat.