ARAH NEWS – Dalam perkembangan proses pemilihan umum, sejak tahun 2004 sampai saat ini penetapan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20% menuai pro-kontra.
Keinginan masyarakat untuk memperluas fungsi keterwakilan politik melalui perubahan aturan presidential threshold kembali terpatahkan.
Menurut Pengamat politik dan pendiri Indonesia Political Power, Ikhwan Arif, Mahkamah Konstitusi tidak paham maksud suara rakyat suara Tuhan.
“Mahkamah Konstitusi tidak paham maksud suara rakyat suara Tuhan, padahal keinginan untuk merubah aturan tersebut tidak lain untuk menentang praktik politik kotor dari kalangan elit politik yang berkuasa,” katanya.
Baca Juga:
John Legend Siap Menghibur Penggemar di Sentul: Harga Tiket dari Rp900 Ribu dan Semua Detail Penting
Mantan Wali Kota Alice Guo Ditangkap di Kawasan Tangerang, Buronan Otoritas Pemerintah Filipina
Pada dasarnya perubahan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) tujuannya tidak lain untuk memperluas makna partisipasi rakyat dalam proses Pilpres.
Sehingga bukan hanya koalisi partai atau partai dengan suara terbanyak saja yang bisa mengusungkan calon, akan tetapi semua lapisan masyarakat, imbuhnya.
“Penetapan ambang batas (presidential threshold) sebesar 20% akan mencederai prinsip dasar demokrasi dan keterwakilan rakyat,” kata Ikhwan, dikutip Arahnews.com, dari keterangan tertulisnya, Selasa, 12 Juli 2022.
Kenapa demikian, lanjut Ikhwan, karena kendali demokrasi berada pada kekuasaan partai yang berkoalisi dan sangat minim partisipasi rakyat langsung.
Baca Juga:
Sekjen PSI Raja Juli Antoni Beri Penjelasan Soal Kabar Kaesang Pangarep Tak Diketahui Keberadaanya
Termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi, Eksponen Aktivis 98 Sebut Kaesang Pangarep Rugikan 2 Pihak
Para petinggi partai punya tiket dalam bursa pencalonan sehingga keterwakilan rakyat yang berada diluar partai berkuasa sangat sulit mendapatkan tiket pencalonan.
“Sentral kekuasaan itu dikendalikan penuh oleh segelintir elit yang sudah pasti mengantongi tiket pencapresan.”
“Sehingga menjadi sebuah pola layaknya oligarki yang berkuasa, jauh-jauh hari sebelum proses pencalonan tiket VIP sudah di tangan penguasa,” ujar Ikhwan Arif.
Kemudian aturan ini sudah sangat usang, sejak tahun 2004 belum ada perubahan. Setiap uji materi selalu ditolak MK.
Baca Juga:
Wawancara Presiden Jokowi Dituding Merupakan Gimmick atau Settingan, Pihak Istana Beri Tanggapan
Menurut Ikhwan, pola seperti ini tidak sesuai dengan perkembangan zaman, kita lihat ketika pembentukan koalisi tidak serta merta melahirkan paslon.
Malah koalisi mengusung calon diluar kaderisasi partai yang berkoalisi, ditambah lagi platfon ideologi partai yang berbeda sehingga tidak memunculkan titik temu membangun koalisi partai politik dalam Pilpres 2024.
“Pembentukan koalisi hanya formalitas untuk memperoleh nilai ambang batas saja. Karena kita tahu lah, praktik transaksi tiket di bursa pencapresan tidak ubah layaknya permainan oligarki yang berkuasa,” ucap Ikhwan.***