ARAH NEWS – Rencana penundaan pemilu mulai memenuhi perbincangan publik dalam beberapa hari terakhir.
Tak main-main, dua Ketua Umum (Ketum) parpol yang langsung menyuarakan hal tersebut.
Dalihnya adalah Indonesia banyak mengalami cobaan dalam beberapa tahun terakhir, seperti pandemi covid, bencana alam, dan kelesuan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Direktur Utama BUMN yang Tak Berprestasi dan Malas-malasan, Presiden Prabowo Subianto: Ganti!
Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik, Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan oleh Press Release
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka bilang, saat ini merupakan fase pemulihan dari pandemi baik secara kesahatan maupun ekonomi.
Oleh sebab itu, penundaan 1-2 tahun pemilu merupakan sebuah keharusan. Sebenarnya hal itu bukan gagasan baru.
Alasan tersebut tentu mengada-ada. Sebab, tak ada keadaan gentingan yang mendesak yang membuat pemilu harus ditunda.
Baca Juga:
Kepala BGN Kunjungi Siswa Cianjur yang Alami Gangguan Kesehatan Usai Konsumsi Makanan Program MBG
Contoh tunda pemilu setelah pemilu pertama, 1955 di mana ada pemberontakan DI/TII, PRRI, dan Permesta.
Bila, para ketum parpol berdalih mendengarkan suara rakyat itu sebenarnya suara rakyat mana yang mereka dengar?
Atau mereka memanfaatkan seglintir suara rakyat yang kebetulan sama dengan kepentingannya? Jadi mereka melakukan cherry picking.
Bila mengingat ke beberapa bulan sebelumnya, gagasan serupa juga sudah muncul. Hanya saja, wacananya lebih gamblang dan bukan diinisiasi oleh Ketum parpol.
Baca Juga:
Presiden Prbowo Subianto Pidato Penuh Semangat di Parlemen Turki, Suarakan Dukungan ke Palestina
Sektor Energi dan Keuangan Dinilai Prospektif dalam Laporan CSA Index April 2025
Gagasan itu adalah penambahan masa jabatan Presiden Jokowi menjadi tiga periode. Hal itu bahkan disampaikan langsung oleh salah satu menteri Jokowi.
Saat itu, Presiden Jokowi dengan tegas merespons bahwa dirinya tunduk dan tegak lurus dengan konstitusi, yaitu menjabat selama dua periode.
Tentu saja, kali ini wacana untuk menunda pemilu juga mesti ditolak oleh Presiden Jokowi.
Keukeuhnya keinginan menunda pemilu oleh para Ketum parpol ini mengisyarakatkan bahwa mereka tak patuh dan juga meragukan komitmen Presiden Jokowi yang tunduk kepada konstitusi.
Oleh sebab itu, Presiden Jokowi juga harus tegas menolak. Sebab langkah tersebut akan memperburuk reputasi dan komitmen Presiden Jokowi terhadap konstitusi dan demokrasi.
Bila Presiden Jokowi mendiamkan atau justru mengiyakan penundaan pemilu. Ini akan menjadi preseden buruk bagi pemerintahan setelah Jokowi; konstitusi bisa “diakali”.
Kehidupan demokrasi di Indonesia yang sudah mapan dengan peralihan kekuasaan yang berjalan sesuai konstitusi akan rusak.
Hal itu juga menciderai cita-cita reformasi. Tak hanya itu, masyarakat akan semakin terpolarisasi bila pemilu ditunda.
Para ketum parpol ini hanya memanfaatkan pendukung fanatik Jokowi dan kemudian mereka akan berhadapan dengan pendukung Jokowi yang rasional yang tidak ingin pemilu ditunda, dan mereka yang sebelumnya anti-jokowi serta kelompok masyarakat sipil lainnya.
Dalam berkuasa, pemerintahan tak hanya berpikir apa dan bagaimana kekuasaan dibangun dan dijalankan, tetapi juga ingin diingat sebagai pemerintah yang apa?
Apakah pemerintah yang menguatkan demokrasi atau melemahkan demokrasi?
Opini: Virdika Rizky Utama, Peneliti PARA Syndicate