ARAHNEWS.COM – Rencana mempertahankan masa jabatan Jokowi terus bergulir.
Baik dengan cara memperpanjang masaii jabatan presiden maupun mengubah periode jabatan presiden dari dua menjadi tiga periode.
Semua ini tentunya melanggar konstitusi, dan masuk kategori kudeta konstitusi.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik, Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan oleh Press Release
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seperti dimaksud di dalam artikel “Threats to democracy in Africa: The rise of the aconstitutional coup”, yang dimuat di situs the Brookings Institute: https://www.brookings.edu/blog/africa-in-focus/2020/10/30/threats-to-democracy-in-africa-the-rise-of-the-constitutional-coup/
Artinya, Indonesia sedang meniru beberapa negara di Africa, mengancam demokrasi melalui kudeta konstitusi.
Demi untuk mempertahankan kekuasaan, menuju negara otoritarian dan tirani.
Baca Juga:
Kepala BGN Kunjungi Siswa Cianjur yang Alami Gangguan Kesehatan Usai Konsumsi Makanan Program MBG
Rencana ini sengaja disuarakan tanpa etika dan moral, secara sistematis, diorkestrasi oleh ketua umum partai politik, menteri, dan akhir-akhir ini pejabat tinggi negara, DPD dan MPR.
Berbagai macam alasan penundaan pemilu dikaji, termasuk skenario brutal.
Seperti kompensasi masa jabatan karena pandemi Covid-19, atau menciptakan keadaan darurat, kegentingan memaksa, agar presiden dapat menerbitkan PERPPU atau dekrit menunda pemilu.
Yang semuanya ilegal karena melanggar konstitusi.
Baca Juga:
Presiden Prbowo Subianto Pidato Penuh Semangat di Parlemen Turki, Suarakan Dukungan ke Palestina
Sektor Energi dan Keuangan Dinilai Prospektif dalam Laporan CSA Index April 2025
Karena PERPPU atau dekrit presiden wajib taat konstitusi. Seperti diuraikan di dalam tulisan di media, bisa dimakzulkan.
Kemudian, alasan pemerintah tidak ada uang (anggaran) digulirkan. Alasan ini sangat primitif.
Kalau dijalankan maka pemerintah secara nyata melanggar konstitusi.
Pertama, pemerintah tidak pernah tidak ada uang, karena pemerintah mempunyai kekuasaan menarik pajak dan mencetak uang.
Total belanja negara di dalam APBN 2023 sebesar Rp3.061 triliun.
Anggap saja belanja negara 2024 sekitar Rp3.000 juga, sehingga total belanja negara untuk dua tahun (2023-24) mencapai Rp6.000 triliun.
Artinya, anggaran pemilu Rp120 triliun relatif sangat kecil, hanya 2% dari belanja negara.
Kedua, anggaran pemilu harus dianggarkan di dalam APBN.
Kalau tidak dianggarkan berarti pemerintah melanggar perintah konstitusi untuk menyelenggarakan pemilu setiap 5 tahun, yang jatuh tempo pada 2024.
Artinya, pemerintah membangkang perintah konstitusi, melanggar konstitusi, dapat dimakzulkan.
Ketiga, kalau anggaran pemilu sudah dianggarkan dan diundangkan di dalam UU APBN.
Maka pemerintah, dan KPU sebagai penyelenggara pemilu, wajib menjalankan perintah UU APBN. Artinya wajib menyelenggarakan pemilu.
Kalau tidak, maka berarti keduanya membangkang perintah UU APBN, dan membangkang perintah konstitusi, karena UU APBN merupakan perintah konstitusi secara langsung.
Sejauh ini, pemerintah sudah menganggarkan biaya penyelenggaraan pemilu di dalam APBN, baik untuk KPU maupun Bawaslu.
Perkiraan realisasi anggaran belanja KPU untuk tahun 2022 mencapai Rp2,35 triliun.
Anggaran KPU untuk tahun anggaran 2023 ditetapkan Rp16 triliun.
Sedangkan perkiraan realisasi anggaran Bawaslu untuk tahun 2022 mencapai Rp1,79 triliun, dan anggaran tahun 2023 ditetapkan Rp7,1 triliun.
Jumlah anggaran 2023 ini lebih besar dari indikasi awal kementerian keuangan yang memperkirakan anggaran KPU dan Bawaslu masing-masing-masing sebesar Rp14 triliun dan Rp5,5 triliun.
Dengan demikian, tidak ada alasan KPU dan Bawaslu tidak ada uang untuk menyelenggarakan pemilu.
Kalau pemerintah, dalam hal ini kementerian keuangan, tidak memberikan uang yang sudah dianggarkan tersebut, maka berarti kementerian keuangan melakukan pembangkangan terhadap UU APBN dan konstitusi.
Maka itu, alasan menunda pemilu karena tidak ada uang merupakan imajinasi liar, dari segerombolan liar pihak-pihak yang mau melakukan kudeta konstitusi.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).***