ARAH NEWS – Kasus Rektor Universitas Lampung (UNILA), Professor Karomani, sekaligus petinggi organisasi keagamaan tertentu, ditangkap KPK beberapa hari lalu.
Karena menjual “kursi masuk” mahasiswa jalur mandiri seharga Rp 100-350 juta per calon mahasiswa.
Professor ini terkenal juga selama ini sebagai tokoh forum rektor yang mempropagandakan kampus bebas dari radikalisme.
Oleh karenanya, menurutnya, radikalisme adalah ancaman nyata saat ini yang paling membahayakan di lingkungan kampus. Kita harus mengapresiasi KPK untuk penangkapan ini.
Baca Juga:
Analis Memperkirakan Rupiah Melemah di Tengah Kekhawatiran Kebijakan Tarif Trump
Fitur AI Canggih di ASUS ZenBook S 14 OLED (UX5406) Copilot+ PC yang Wajib Anda Ketahui
Bahas Kerja Sama Ekonomi Indonesia – Tiongkok, Airlangga Hartarto Terima Kunjungan Dubes Wang Lutong
Meskipun nilai rupiahnya tidak seperti kasus APENG yang bernilai puluhan triliunan maupun ketika kita kecewa KPK tidak berani atau tidak siap melanjutkan pemeriksaan kasus dugaan KKN anak Jokowi yang dilaporkan Ubaidillah Badrun.
Kenapa perlu diapresiasi? Karena penangkapan seorang intelektual dari kaum Professor– juga rektor–sebuah universitas yang dibiayai negara, merupakan simbolis dari penanganan kasus hancurnya moralitas bangsa kita.
Alasan lainnya, sebagai pendukung militan Jokowi, Professor ini harusnya dapat menjadi “banchmark” keberhasilan atau kegagalan sebuah Revolusi Mental yang digadang-gadang Jokowi.
Universitas adalah suksesnya sebuah bangsa
Baca Juga:
Di Tempat Pembuangan Sampah Kawasn Pancoran, Jaksel Ditemukan Sesosok Jasad Bayi Perempuan
Sapulangit Media Center Gandeng Rilispers.com Pasarkan Publikasi Press Release di 150+ Portal Berita
Universitas sepanjang sejarah dipercaya sebagai pusat peradaban manusia.
Baik ketika dahulu kala namanya Academy di era Plato, di Athena, Yunani atau Madrasah, di jaman Al Ghazali mengajar di Baghdad, semuanya dimaksudkan untuk0 memproduksi manusia cerdas, berintegritas, dan bertujuan memuliakan kehidupan.
Perdebatan dan riset tentang demokrasi, hak-hak manusia, sistem pemerintahan, tentang alam semesta serta penemuan sain dan teknologi menjadi kekayaan universitas.
Sehingga ia dipercaya untuk mendidik manusia menjadi manusia sejati.
Baca Juga:
Kebutuhan Cadangan Beras Pemerintah, Indonesia akan Tambah Kuota Impor Beras Sebanyak 1 Juta Ton
Universitas juga dipercaya oleh sebuah bangsa untuk menjadi referensi nilai bagi pembangunan bangsa tersebut.
Misalnya, universitas selalu diminta oleh negara dalam memproduksi atau mengevaluasi sebuah undang-undang.
Sebab, tanpa kehadiran kaum cendikiawan dalam hadirnya sebuah produk hukum, moralitas hukum tersebut masih dapat dipertanyakan.
Begitu juga ketika negara membutuhkan riset yang sangat serius untuk sebuah produk strategis, seperti energi nuklir dan lainnya.
Kesuksesan sebuah bangsa seringkali pula diukur dengan suksesnya universitas di negara tersebut.
Atau setidaknya kita dapat melihat korelasi kesuksesan sebuah bangsa dengan majunya universitas di negara itu. Sebuah kondisi ini paralel.
Negara yang mempunyai banyak universitas dalam ranking tinggi global umumnya negara maju, sebaliknya juga terjadi.
Indonesia dibandingkan Malaysia, apalagi Singapura, mempunyai universitas yang rankingnya jauh lebih rendah, paralel dengan negaranya yang lebih tertinggal.
Dengan demikian, sangatlah wajar jika universitas menjadi tumpuan harapan manusia, keluarga, dan juga sebuah bangsa.
Dengan pula jika universitas itu terlihat gagal menjalankan misinya, kekecewaan besar pun akan datang.
Rektor Koruptor, Mengapa?
Korupsi yang dilakukan rektor UNILA ini adalah jenis yang paling sadis. Korupsi yang lebih rendah kebiadabannya bisa terjadi pada korupsi pengadaan barang.
Karena umumnya jejaring atau broker kekuasaan memang membuat keadaan terpaksa seseorang pejabat publik harus korupsi.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Beberapa universitas swasta kaya dapat memiliki peralatan laboratorium yang canggih dibandingkan universitas negeri, karena kesulitan pejabat publik berhadapan dengan calo-calo projek.
Padahal negara sudah mengalokasikan dana untuk itu. Namun, kasus modus korupsi dengan model rektor Universitas Lampung ini, yang meminta uang kepada calon mahasiswa, telah menghancurkan prinsip-prinsip keutamaan moral.
Menghancurkan kepercayaan diri mahasiswa untuk menjadi SDM handal di kemudian hari dan merusak reputasi universitas itu sendiri.
Program penerimaan mahasiswa mandiri sendiri sebenarnya mempunyai banyak manfaat.
Pertama, universitas tidak terjebak pada penyeragaman tersentralisasi, seperti era Sipenmaru tahun 1980 an.
Kedua, universitas memberikan kesempatan kedua kepada calon mahasiswa yang gagal dalam saringan pertama.
Kesempatan kedua tersebut secara teoritis diharapkan mampu memberikan penyempurnaan pada kemungkinan kegagalan sistem penerimaan di saringan pertama.
Misalnya, seandainya ada calon mahasiswa genius yang terhalang masuk pada saringan pertama.
Bagaimana dengan biaya jalur mandiri? Sebenarnya, ketika kampus kesulitan mencari pembiayaan dari negara maupun upaya kampus menambah kemampuan pembiayaan sendiri, wajar saja saringan ala jalur mandiri dikaitkan dengan sumbangan calon mahasiswa.
Namun, tentu saja itu bukan syarat mutlak. Syarat mutlaknya adalah kemampuan akademik dan IQ sang calon tersebut.
Dan uang yang diperoleh tentu saja untuk universitas, bukan untuk pribadi rektor dan kawan-kawannya.
Lalu kenapa rektor ini korupsi? Hal ini tentu merupakan kerusakan mental.
Pertama, di lingkungan universitas negeri, di bawah jajaran Kemendikbud, belum terdengar kabar adanya biaya suksesi yang mahal untuk menjadi rektor.
Model biaya mahal umumnya terjadi untuk kursi kekuasaan eksekutif dan legislatif. Tapi, ini juga mungkin mulai berubah?
Kedua, seorang rektor dan sebagai professor, seharusnya dia sudah hidup lebih dari cukup. Bahkan, seorang Professor masih mendapatkan tunjangan negara sampai usia tua.
Revolusi mental gagal
Lalu, apa motivasi rektor koruptor? Ini perlu penyelidikan serius, bisa jadi karena rektor ini korban proyek Revolusi Mental?
Jokowi membawa ide, semangat dan api “Revolusi Mental” ketika kampanye menjadi presiden.
Menurut situs pemerintah, “Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, serta berjiwa api yang menyala-nyala.” (Kominfo.go.id).
Dan, “Revolusi mental Jokowi ditandai dengan prinsip integritas, etos kerja, dan gotong royong.” (situs Kemendikbud).
Pemerintah kemudian mengalokasikan biaya untuk ide ini terwujud, khususnya dalam pelatihan-pelatihan dan pendidikan (Diklat) yang diberikan kepada aparatur negara.
Penangkapan Rektor UNILA yang menjijikkan ini telah menunjukkan adanya kegagalan Revolusi Mental di dunia pendidikan. Ini memang baru sebuah indikator.
Namun, indikator ini sangat penting mengingat keterlibatan rektor yang pimpinan universitas perguruan tinggi negeri dengan model korupsi yang biadab.
Apalagi, rektor tersebut petinggi organisasi keagamaan dan promotor utama anti radikalisme di kampus.
Bisa jadi, modus korupsi penerimaan mahasiswa baru ini sudah berkembang lama dan terjadi di berbagai perguruan tinggi negeri lainnya.
Ade Armando, misalnya, pernah mengatakan bahwa mahasiswa di kampusnya mengajar, banyak yang berbayar alias diterima masuk karena uang, bukan akibat IQ dan kapasitas.
Lalu, bagaimana nasib Revolusi Mental ini? Setelah 8 tahun Jokowi presiden?
Kasus penangkapan Rektor Koruptor ini bukanlah satu-satunya indikasi kegagalan Revolusi Mental.
Kita melihat sebelumnya kasus Ferdy Sambo, Penegak Hukumnya Penegak Hukum alias Provos dari institusi utama penegakan hukum kepolisian pun telah menunjukkan kegagalan Revolusi Mental ala Jokowi.
Belum lagi banyaknya deretan kasus-kasus korupsi dan moralitas kekuasaan saat ini. Untuk itu maka kita melihat Revolusi Mental ala Jokowi sudah gagal.
Lalu what’s next?
Kegagalan Revolusi Mental Jokowi perlu ditindaklanjuti dengan adanya sebuah upaya baru dalam memperbaiki mentalitas bangsa yang sedang terpuruk ini.
Apakah melalui konsep Revolusi Akhlak ala Habib Rizieq diperlukan ke depan? Kita harus kaji.
Tapi, setidaknya kita sudah saatnya mengatakan bubarkan Revolusi Mental ala Jokowi.
Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle (SMC).***
Buat yang hobby berbagi tulisan artikel atau opini (pendapat, pandangan dan tanggapan) ayo menulis, artikel dapat dikirim lewat WhatsApp ke: 0855-7777888.