ARAHNEWS.COM – Sejak Jokowi dilantik menjadi presiden, terutama periode kedua, saat itu pula relawan harus bubar. Tidak dibutuhkan lagi.
Pertama, ketika Jokowi dilantik, dia sudah menjadi milik rakyat. Jokowi adalah presiden seluruh rakyat Indonesia.
Tidak lagi ada pendukung dan non pendukung. Ia diberi amanah untuk mengurus negara dan melayani seluruh rakyat, tanpa terkecuali.
Terkait siapa diantara pendukung yang kemuduan diberi jabatan tertentu sebagai kompensasi kerelawanannya, itu bagian dari kewajaran politik yang normal berlaku.
Baca Juga:
John Legend Siap Menghibur Penggemar di Sentul: Harga Tiket dari Rp900 Ribu dan Semua Detail Penting
Mantan Wali Kota Alice Guo Ditangkap di Kawasan Tangerang, Buronan Otoritas Pemerintah Filipina
Tapi, eks relawan ketika sudah masuk dalam kekuasaan, mereka harus bekerja untuk bangsa, bukan untuk Jokowi.
Mereka digaji oleh rakyat, karena itu harus bekerja untuk rakyat. Bukan digaji oleh Jokowi dan bekerja hanya untuk kekuasaan Jokowi.
Kedua, Jokowi tidak butuh relawan lagi. Jokowi butuh dukungan seluruh rakyat Indonesia. Support rakyat mutlak dibutuhkan Jokowi dalam bekerja dan menjalankan program-programnya.
Presiden yang bekerja untuk rakyat dan diapresiasi kinerjanya oleh rakyat, ia akan semakin wibawa dan ditaati oleh rakyat.
Baca Juga:
Sekjen PSI Raja Juli Antoni Beri Penjelasan Soal Kabar Kaesang Pangarep Tak Diketahui Keberadaanya
Termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi, Eksponen Aktivis 98 Sebut Kaesang Pangarep Rugikan 2 Pihak
Masa kerja relawan itu jelang dan saat pilpres. Pilpres selesai, tugas selesai. Dan sudah harus bubar. Keberadaannya tidak dibutuhkan lagi.
Apalagi 2024 Jokowi bukan capres. Ini harus dipahami dan dimengerti oleh para eks relawan.
Relawan yang tetap eksis di bawah kekuasaan, ini berbahaya. Bisa menjadi beban negara. Beban juga bagi Jokowi.
Jokowi punya beban bagaimana harus membiayai relawan agar tetap eksis. Tidak ada kegiatan yang tidak pakai uang.
Baca Juga:
Wawancara Presiden Jokowi Dituding Merupakan Gimmick atau Settingan, Pihak Istana Beri Tanggapan
Apalagi kalau harus ngumpulin jumlah massa yang besar di satu titik. Bisa habis 100 milyar. Dari mana uang itu? Patungan?
Tidak mungkin. Dari Jokowi? Dari mana presiden bisa nyiapin uang sebesar itu?
Gegara relawan yang tidak mau bubar, provokasi untuk tiga periode terus digaungkan.
Wacana ini telah merusak nama Jokowi itu sendiri. Jokowi jadi sasaran tuduhan.
Publik akan mengira Jokowi ambisius, berupaya menabrak konstitusi, merasa kurang lama berkuasa.
Begitu juga provokasi untuk tunda pemilu. Ini juga merusak nama Jokowi dengan berbagai stigma negatif
Ini semua disebabkan oleh ulah para relawan yang tidak segera membubarkan diri. Mereka merasa nyaman berada di lingkaran kekuasaan.
Sudah waktunya harus berhenti, tapi terus saja melakukan provokasi.
Relawan yang tidak bubar menyebabkan pertama, akan muncul terus menerus provokasi ke arah status quo. Mereka akan mendorong kekuasaan seumur hidup.
Kekuasaan memang mensejahterakan. Karena itu, mereka akan terus melakukan provokasi agar kekuasaan bisa dipertahankan.
Kedua, adanya relawan yang permanen menciptakan keterbelahan yang berpotensi melahirkan konflik sosial.
Setidaknya, kegaduhan akan terus terpelihara. Di lain sisi, kegaduhan memang bisa membuka ruang untuk bergaining dan mendatangkan proyek.
Pemilu melahirkan keterbelahan pendukung. Ini normal. Selama masing-masing pihak bisa saling menghargai dan tidak saling mengintimidasi, ini tidak masalah.
Tapi, jika setelah pemilu masing-masing pendukung paslon masih membelah dan mengkonsolidasikan diri, ini tidak normal.
Ini akan menciptakan ketegangan yang akan terus mengganggu stabilitas politik, bahkan keamanan. Pada akhirnya, ini juga mengganggu pemerintah dalam bekerja.
Mutlak, relawan harus dibubarkan atau membubarkan diri pasca pilpres. Rakyat bersatu kembali, dan secara bersama-sama support pemerintah dalam bekerja.
Kalau relawan tetap ada, dipelihara dan eksis, jangan berharap pemerintah akan mendapat dukungan dari rakyat, terutama pihak yang tidak memilihnya di pemilu.
Oleh: R. Kholis Majdi, Pemerhati Politik. ***